Jumat, 10 Juli 2009

makalah pkn ambalat

OLEH:
SAIFUL MUARIF






SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) MADIUN

Tahun akademik 2008/2009


KASUS SENGKETA INDONESIA-MALAYSIA
DALAM GEOPOLITIK WAWASAN NUSANTARA


KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim,,,
Puji syukur atas ke-hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga kita dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya, sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW.
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas UAS Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dengan dosen Ibu.Annisa Sriwahyuni. Dalam makalah ini kami membahas tentang “Kasus Sengketa Indonesia-Malaysia Dalam pkn” yang berisi tentang Wawasan Nusantara dengan teori geopolitiknya dan seputar konflik sengketa pulau perbatasan antara Indonesia Vs Malaysia silam yang sempat mengancam terputusnya hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia, untuk lebih jelasnya para pembaca dapat melihat lebih jauh isi makalah saya.
Terselesaikannya makalah ini tidak lepas dari bantuan semua pihak, baik dosen dan teman-teman sekalian. Oleh karena itu, saya mengucapkan terimakasih khususnya pada Ibu.Annisa Sriwahyuni yang telah memberi bimbingan dan dorongan kepada saya, serta bagi semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi tercapainya kesempurnaan makalah ini. Saya berharap semoga makalah ini dapat membawa manfaat khususnya bagi saya selaku penulis dan umumnya bagi pembaca. Amin…



Madiun,3 juli 2009
Penulis

SAIFUL MUARIF



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN 3
A. Pengertian geopolitik Indonesia
B. Wawasan nusantara
BAB II ISI 5
Studi Kasus terkait Geopolitik Indonesia.
A. Ambalat, Diplomasi Vs Konfrontasi
B. Tanggapan dan Beberapa Solusi Mengenai Kasus Ambalat
BAB IV PENUTUP 14
A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA 11 16













BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam hubungan dengan kehidupan manusia dalam suatu Negara dalam hubungannya dengan lingkungan alam, kehidupan manusia di dunia mempunyai kedudukan sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa dan sebagai wakil Tuhan (khlifatullah) di bumi yang menerima amanatnya untuk mengelola kekayaan alam. Sebagai hamba Tuhan mempunyai kewajiban untuk beribadah dan menyembah Tuhan sang pencipta dengan penuh ketulusan. Adapun sebagai wakil Tuhan di bumi, manusia dalam hidupnya berkewajiban memelihara dan dan memanfaatkan segenap karunia kekayaan alam dengan sebaik-baiknya untuk kebutuhan hidupnya. Kedudukan manusia tersebut mencakup tiga segi hubungan, yaitu: Hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan antar manusia, dan hubungan antara manusia dengan makhluk lainnya. Bangsa Indonesia sebagai umat manusia religious dengan sendirinya harus dapat berperan sesuai dengan kedudukan tersebut.
Sebagai Negara kepulauan dengan masyarakatnya yang beraneka ragam, Negara Indonesia memiliki unsure-unsur kekuatan dan sekaligus kelemahan. Kekuatannya terletak pada posisi dan keadaan geografi yang strategi dan kaya akan sumber daya alam. Sementara kelemahannya terletak pada wujud kepulauan dan keanekaragaman masyarakat yang harus disatukan dalam satu bangsa dan satu tanah air, sebagaimana telah diperjuangkan oleh para pendiri Negara.
Dalam pelaksanannya bangsa Indonesia tidak bebas dari pengaruh interaksi dan interelasi dengan lingkungan sekitarnya, baik lingkungan regional maupun internasional. Dalam hal ini bangsa Indonesia perlu memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai pedoman agar tidak terombang-ambing dalam memperjuangkan kepentingan nasional untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasionalnya. Salah satu pedoman bangsa Indonesia adalah wawasan nasional yang berpijak pada wujud wilayah nusantara. Sehingga kelompok kami menjadikan kasus Ambalat yang menjadi Studi kasus dalam tugas kelompok ini.
B. Rumusan masalah
Dari latar belakang yang telah ada, penulis merumuskan beberapa permasalahan diantaranya :
1. Bagaimana hubungan wawasan nusantara dan ketahan Nasional?
2. Apa yang menjadi salah satu studi kasus terkait tema, dimana hal itu merupakan informasi terkini pada bangsa Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan suatu makalah tentunya harus memiliki beberapa hal yang direncanakan sebagai tujuan penulisan. Adapun tujuan penulisan makalah ini ialah.
1. Makalah ini digunakan untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
2. Menambah wawasan tentang tanah air Indonesia dan mengetahui latar belakang bangsa sendiri.
3. Memahami pengertian fungsi dan tujuan adanya Wawasan Nusantara.
4. Mengetahui konflik bilateral antara negara Indonesia dan Malaysia untuk mengambil sebuah pelajaran dari hal tersebut.
5. Membangkitkan semangat cinta tanah air dan bangsa.















BAB II
PEMBAHASAN
GEOPOLITIK INDONESIA DAN STUDI KASUSNYA YANG RELEVAN
A. Geopolitik Indonesia
Pengertian
Geopolitik diartikan sebagai sistem politik atau peraturan-peraturan dalam wujud kebijaksanaan dan strategi nasional yang didorong oleh aspirasi nasional geografik (kepentingan yang titik beratnya terletak pada pertimbangan geografi, wilayah atau territorial dalam arti luas) suatu Negara, yang apabila dilaksanakan dan berhasil akan berdampak langsung kepada system politik suatu Negara. Sebaliknya, politik Negara itu secara langsung akan berdampak pada geografi Negara yang bersangkutan. Geopolitik bertumpu pada geografi sosial (hukum geografis), mengenai situasi, kondisi, atau konstelasi geografi dan segala sesuatu yang dianggap relevan dengan karakteristik geografi suatu Negara.
Sebagai Negara kepulauan, dengan masyarakat yang berbhinneka, Negara Indonesia memiliki unsur-unsur kekuatan sekaligus kelemahan. Kekuatannya terletak pada posisi dan keadaan geografi yang strategis dan kaya sumber daya alam. Sementara kelemahannya terletak pada wujud kepulauan dan keanekaragaman masyarakat yang harus disatukan dalam satu bangsa dan satu tanah air, sebagaimana telah diperjuangkan oleh para pendiri Negara ini. Dorongan kuat untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia tercermin pada momentum sumpah pemuda tahun 1928 dan kemudian dilanjutkan dengan perjuangan kemerdekaan yang puncaknya terjadi pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Penyelenggaraan Negara kesatuan Republik Indonesia sebagai system kehidupan nasional bersumber dari dan bermuara pada landasan ideal pandangan hidup dan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. dalam pelaksanaannya bangsa Indonesia tidak bebas dari pengaruh interaksi dan interelasi dengan lingkungan sekitarnya, baik lingkungan regional maupun internasional. Dalam hal ini bangsa Indonesia perlu memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai pedoman agar tidak terombang-ambing dalam memperjuangkan kepentingan nasional untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasionalnya. Salah satu pedoman bangsa Indonesia adalah wawasan nasional yang berpijak pada wujud wilayah nusantara sehingga disebut dengan wawasan nusantara. Kepentingan nasional yang mendasar bagi bangsa Indonesia adalah upaya menjamin persatuan dan kesatuan wilayah, bangsa, dan segenap aspek kehidupan nasionalnya. Karena hanya dengan upaya inilah bangsa dan Negara Indonesia dapat tetap eksis dan dapat melanjutkan perjuangan menuju masyarakat yang dicita-citakan.
Oleh karena itu, wawasan nusantara adalah geopolitik Indonesia. Hal ini dipahami berdasarkan pengertian bahwa dalam wawasan nusantara terkandung konsepsi geopolitik Indonesia, yaitu unsur ruang, yang kini berkembang tidak saja secara fisik geografis, melainkan dalam pengertian secara keseluruhan (Suradinata; Sumiarno: 2005).
B.Wawasan nusantara
Pengertian Wawasan Nusantara
Istilah Wawasan Nusantara terdiri dari dua buah kata yakni ‘wawasan’ dan ‘nusantara’. Wawasan berasal dari kata ‘wawas’ yang berarti pandangan, tinjauan atau penglihatan inderawi. Akar kata ini membentuk kata ‘mawas’ yang berarti memandang, meninjau atau melihat. Sehingga wawasan dapat berarti cara pandang, cara meninjau, atau cara melihat. Sedangkan Nusantara berasal dari kata ‘nusa’ yang berarti pulau–pulau, dan ‘antara’ yang berarti diapit di antara dua hal (dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia serta dua samudra yakni samudra Pasifik dan samudra Hindia). Berdasarkan teori-teori tentang wawasan, latar belakang falsafah Pancasila, latar belakang pemikiran aspek kewilayahan, aspek sosial budaya, dan aspek kesejarahan, terbentuklah satu Wawasan Nasional Indonesia yang disebut Wawasan Nusantara.
Secara umum Wawasan Nasional berarti cara pandang suatu bangsa tentang diri dan lingkungannya yang dijabarkan dari dasar falsafah dan sejarah bangsa itu sesuai dengan posisi dan kondisi geografi negaranya untuk mencapai tujuan atau cita–cita nasionalnya. Sedangkan arti dari Wawasan Nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan geografi wilayah nusantara yang menjiwai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan atau cita–cita nasionalnya. Dengan demikian wawasan nusantara berperan untuk membimbing bangsa Indonesia dalam penyelenggaraan kehidupannya serta sebagai rambu–rambu dalam perjuangan mengisi kemerdekaan. Wawasan nusantara sebagai cara pandang juga mengajarkan bagaimana pentingnya membina persatuan dan kesatuan dalam segenap aspek kehidupan bangsa dan negara dalam mencapai tujuan dan cita-citanya.




BAB III
ISI
1.Studi Kasus terkait Geopolitik Indonesia.
A. Ambalat, Diplomasi Vs Konfrontasi
AMBALAT kembali mencuri perhatian. Kapal perang Malaysia berkali- kali melanggar teritori Indonesia dan diusir armada angkatan laut kita. Mencuat pada 2005, mengapa krisis Ambalat kembali terjadi? Apa solusi terbaiknya? Ambalat adalah sebuah gugus pulau di sekitar 118.2558 Bujur Timur (BT)-118.254167 BT dan 2.56861 Lintang Utara (LU)- 3.79722 LU yang terletak di perairan Laut Sulawesi, sebelah timur Pulau Kalimantan Timur. Sengketa Ambalat Indonesia-Malaysia menyeruak karena klaim kepemilikan. Pada 2005, krisis Ambalat ditandai dengan show of force kedua angkatan bersenjata, penembakan kapal nelayan kita oleh Malaysia, dan aneka aksi demonstrasi mengecam Malaysia. Ambalat disebut sebagai wilayah Republik Indonesia (RI) sesuai Undang-undang No 4 Tahun 1960 tentang Perairan RI yang telah sesuai dengan konsep hukum Negara Kepulauan (Archipelagic State). Undang-undang ini telah diakui dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) ditetapkan dalam Konferensi III PBB di Montego Boy, Jamaika, 10 Desember 1982. Konvensi ini kemudian diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-undang No 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS.
Malaysia mengklaim Ambalat sebagai wilayah kedaulatannya sesuai dengan peta wilayah yang dibuat Malaysia pada 1979. Peta itu didasarkan pada The Convention on The Territorial Sea and the Contiguous zone 1958 dan The Continental Self Convention 1958.

Peta Laut 1979 tersebut juga telah memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan ke dalam wilayah Malaysia. Malaysia memberi Ambalat (wilayah XYZ) kepada Shell atas dasar perjanjian bagi hasil (Production Sharing Contract ) pada 16 Februari 2005.
Masalah Penting
Masalah Ambalat menjadi penting bagi Indonesia karena setidak-tidaknya ia mencakup tiga dari empat variabel kepentingan nasional. Pertama, dari sisi keamanan nasional, ada masalah penjagaan integritas wilayah nasional yang cukup sensitif. Bagi kaum realisme politik internasional, masalah- masalah keamanan nasional semacam ini justru menjadi fokus utama kebijakan negara. Pengamat militer, Andi Wijayanto dalam wawancara TVOne (27/5/09) menyatakan, langkah Malaysia sejatinya bisa dimaknai sebagai upaya ingin menguji kedaulatan efektif kita atas Ambalat.
Kedua, ada persoalan citra dan harga diri bangsa karena perasaan terlecehkan sebagai negara berdaulat dengan manuver angkatan laut Malaysia. Ini berakumulasi dengan memori kehilangan kita atas Sipadan dan Ligitan, aneka kasus kekerasan pada TKI, klaim Malaysia atas Lagu ”Rasa Sayange”, reog dan batik misalnya. Artinya para patriot dan nasionalis menginginkan bahwa harga diri kita harus tegak sebagai bangsa berdaulat.

Ketiga ada ancaman bagi kesejahteraan ekonomi karena potensi ekonomi dari minyak Ambalat ditakutkan jatuh ke pihak luar. Pakar ekonomi minyak Dr Kurtubi pada 2005 menyatakan secara kasar Ambalat memiliki cadangan migas seharga 40 miliar dolar AS. Tentu, nilai ini cukup signifikan jika bisa masuk ke kas negara kita
Dengan ketiga kepentingan nasional tersebut, maka pilihan instrumen politik luar negeri yang tersedia adalah diplomasi atau konfrontasi. Namun diplomasi memiliki beberapa kelebihan. Pertama, pada tataran praktik, secara nyata telah ada upaya diplomasi sejak 2005 yang dijalankan kedua negara untuk menyelesaikan Ambalat. Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono (20/5/09) juga menyatakan perundingan Ambalat masih berlangsung. Artinya pilihan penyelesaian diplomatik adalah yang paling rasional meski harus dikawal.
Komunikasi Diplomatik
Penyelesaian diplomatik dimulai dengan pembukaan komunikasi diplomatik Indonesia dengan Malaysia (keterangan pers Departemen Luar Negeri, Jumat 4 Maret 2005). Malaysia menjawab pada 25 Februari 2005 dengan menyampaikan pandangan mereka bahwa wilayah itu adalah wilayahnya. Presiden SBY kemudian berkomunikasi dengan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi melalui telepon Senin 8 Maret 2005 sebelum meninjau Ambalat. Pembicaraan berlangsung konstruktif untuk menyelesaikan masalah dengan baik dan Badawi pun akan mengirimkan Menteri Luar Negeri Malaysia untuk mengunjungi Indonesia.
Diplomasi memasuki babak baru setelah Menlu Malaysia Syed Hamid Albar bertemu dengan Menlu RI Hasan Wirajuda di Jakarta (9/3/2005) bahkan diterima oleh Presiden SBY. Dalam pertemuan antarmenlu telah disepakati bahwa kedua belah pihak akan membentuk tim teknis yang akan melakukan perundingan ke arah penyelesaian Blok Ambalat. Pertemuan ”penyelesaian diplomasi” pertama dilakukan pada 22 dan 23 Maret 2005. Pertemuan tim teknis Indonesia-Malaysia dilanjutkan di Langkawi pada 25-26 Mei, di Yogyakarta 25-26 Juli, di Johor Baru pada 27-28 September 2005 dan Desember 2005.

Namun hingga 2006 masalah sengketa Blok Ambalat antara Malaysia dan Indonesia masih dalam proses perundingan oleh kedua negara dan belum ada penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua negara. Dalam pertemuan bilateral antara PM Abdullah Ahmad Badawi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Gedung Negara Tri Arga, Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 12-13 Januari 2006 telah disepakati bahwa, sengketa Blok Ambalat akan terus diselesaikan secara perundingan.
Kedua, secara moral penyelesaian diplomasi lebih dipilih karena diplomasi merupakan instrumen politik luar negeri yang beradab, murah, dan terukur. Konfrontasi dan perang semakin banyak dicibir karena tidak hanya mahal tetapi juga karena efek rusaknya yang sulit terkontrol. Yang menyedihkan adalah analisa bahwa dari sisi Alutsista kita akan kalah. Perintah untuk tidak mengeluarkan tembakan dari kapal perang kita da cukup mengusir kapal Malaysia cukup bijaksana. Alasan lain, Indonesia dan Malaysia adalah tetangga serumpun yang ada dalam kerangka ”the ASEAN Way” dalam penyelesaian aneka sengketa yang ada.
Fase Diplomasi
Alur penyelesaian diplomatik yang telah disepakati sendiri mencakup dua fase. Fase pertama adalah pembicaraan untuk mengeksplorasi dan mengetahui posisi masing-masing negara atas klaimnya di Blok Ambalat. Fase kedua adalah bagaimana kedua negara bisa menyepakati jalan keluar dari klaim tumpang tindih atas Blok Ambalat. Jalan keluar ini ada tiga alternatif. Satu, negara yang bersengketa tidak menyepakati solusi dan membiarkan permasalahan ini tidak terselesaikan (baca: mengambang) dengan catatan negara yang bersengketa menyepakati suatu status quo. Dua, negara yang bersengketa tidak menyepakati batas, tetapi bersepakat untuk melakukan pengelolaan bersama. Tiga, negara yang bersengketa sepakat untuk membawa sengketa mereka ke forum penyelesaian sengketa. Alur penyelesaian diplomatik yang telah disepakati sendiri mencakup dua fase. Fase pertama adalah pembicaraan untuk mengeksplorasi dan mengetahui posisi masing-masing negara atas klaimnya di Blok Ambalat. Fase kedua adalah bagaimana kedua negara bisa menyepakati jalan keluar dari klaim tumpang tindih atas Blok Ambalat.
Jika diplomasi gagal maka krisis bisa kembali terjadi kapan saja. Konfrontasi akan sangat kontra produktif bagi hubungan bilateral, maupun stabilitas regional ASEAN ke depan. Krisis dan konfrontasi juga akan berakibat perluasan spektrum politik luar negeri tidak lagi semata menjadi pembahasan para elite decision makers tetapi meluas merambah ke wilayah keterlibatan publik. Ini tentu saja positif dalam konteks demokratisasi politik luar negeri agar kebijakan yang diambil accountable terhadap rakyat.
Tetapi sayang, mencermati krisis terdahulu, keterlibatan publik lebih cenderung mengarah kepada ekspresi emosi, kemarahan, sweeping, ajakan berperang, penggalangan relawan dan sebagainya. Padahal eloknya keterlibatan itu lebih terarah kepada pernyataan sikap, artikulasi kepentingan, maupaun aksi yang rasional dan terukur.
Penyelesaian Ambalat membutuhkan tidak hanya tekad dan upaya diplomasi bilateral berkelanjutan tetapi juga sikap saling respek untuk tidak melakukan provokasi. Selagi diplomasi masih bergulir, provokasi dan pelanggaran teritori tentu berbahaya. Bagi Indonesia, diplomasi juga harus dikawal dengan menunjukkan kewibawaan, kekuatan dan ketegasan. Kaum realis mengatakan, ‘’Jika ingin damai bersiaplah untuk berperang’’ (if you want peace, prepare for war).
B. Tanggapan dan Beberapa Solusi Mengenai Kasus Ambalat
Pendahuluan
Malaysia dan Indonesia adalah dua negara tetangga yang sangat dekat, bukan hanya dari segi letak geografis tetapi dari segi budaya dan asal-usul bangsanya. Akan tetapi, walau serumpun dengan bahasa yang mirip, hubungan kedua negara tidak bisa dikatakan selalu rukun dan manis. Sejarah kedua bangsa pernah dihiasi tinta hitam peperangan, yang dikenal dengan Konfrontasi Malaysia Indonesia pada tahun 1962-1965. Beberapa kasus sengketa perbatasan wilayah pun pernah terjadi antara keduanya.
Kasus yang paling baru, dan yang menjadi pembicaraan hangat beberapa bulan belakangan ini adalah sengketa kedua negara mengenai blok migas di perairan Ambalat di wilayah Sulawesi. Sengketa ini menjadi berita hangat yang menghiasi media massa, di Indonesia khususnya. Melalui makalah ini kami ingin mencoba melihat bagaimana sengketa ini diselesaikan jika memakai pemikiran Donald W. Shriver dalam bukunya An Ethics for Enemis: Forgiveness in Politics, dan tujuh langkah menciptakan perdamaian menurut Glenn Stassen dalam bukunya Just Peacemaking: transforming initiatives for
Justice and Peace
.Pokok Masalah : Perairan Ambalat di Laut Sulawesi
Masalah antara Indonesia dan Malaysia seputar blok Ambalat mengemuka ketika terbetik kabar bahwa pemerintah Malaysia melalui perusahaan minyak nasionalnya, Petronas, memberikan konsesi minyak (production sharing contract) kepada perusahaan minyak Shell, atas cadangan minyak yang terletak di Laut Sulawesi (perairan sebelah timur Kalimantan). Pemerintah Indonesia mengajukan protes atas hal ini karena merasa bahwa wilayah itu berada dalam kedaulatan negara Indonesia.
Sebenarnya klaim Malaysia terhadap cadangan minyak di wilayah itu sudah diprotes Indonesia sejak tahun 1980, menyusul diterbitkannya peta wilayah Malaysia pada tahun 1979. Peta tersebut mengklaim wilayah di Laut Sulawesi sebagai milik Malaysia dengan didasarkan pada kepemilikan negara itu atas pulau Sipadan dan Ligitan. Malaysia beranggapan bahwa dengan dimasukkannya Sipadan dan Ligitan sebagai wilayah kedaulatan Malaysia, secara otomatis perairan di Laut Sulawesi tersebut masuk dalam garis wilayahnya. Indonesia menolak klaim demikian dengan alasan bahwa klaim tersebut bertentangan dengan hukum internasional.
Untuk memperjelas pokok permasalahan mengenai sengketa wilayah ini, kutipan dari tulisan Melda Kamil Ariadno, Pengajar Hukum Laut Fakultas Hukum UI, Ketua Lembaga Pengkajian Hukum Internasional (LPHI) FHUI, yang dimuat di Kompas, 8 Maret 2005, dapat membantu.
Aksi dan Reaksi Yang Ditimbulkan
Walaupun pemerintah Indonesia dan Malaysia berulang kali menegaskan bahwa penyelesaian dengan cara kekerasan bukanlah pilihan yang mau diambil, dan kedua pihak akan mengedepankan dialog melalui jalur-jalur diplomasi, masalah ini berkembang menjadi perdebatan seru karena kedua pihak sama-sama kukuh pada pendiriannya. Malaysia melalui Perdana Menteri Abdullah Badawi dan Menlu Syeh Hamid Albar menegaskan bahwa pihaknya tidak salah dalam melakukan uniteralisasi peta 1979, dan bahwa konsesi yang diberikan Petronas kepada Shell di perairan Laut Sulawesi berada di
wilayah teritorial Malaysia. Sementara pemerintah Indonesia melalui pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan Deplu, TNI, maupun presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menegaskan bahwa Indonesia tidak akan melepaskan wilayah itu karena wilayah itu merupakan kedaulatan penuh Indonesia. Tentang hal itu jurubicara TNI AL, Laksamana Pertama Abdul Malik Yusuf mengatakan kepada Asia Times, “We will not let an inch of our land or a drop of our ocean fall into the hands of foreigners.”
Di Indonesia masalah ini kemudian menjadi santapan media massa dan memancing reaksi keras dari berbagai kalangan masyarakat. Sentimen anti-Malaysia dengan slogan “Ganyang Malaysia” pun lalu berkumandang. Kedutaan Besar dan Konsulat-konsulat Malaysia tiba-tiba disibukkan dengan aksi unjuk rasa berbagai elemen masyarakat yang mengecam sikap Malaysia itu. Di beberapa daerah aksi tersebut diwarnai dengan pembakaran bendera Malaysia dan penggalangan sukarelawan “Front Ganyang Malaysia.” Pihak DPR-RI pun bersuara keras meminta pemerintah bertindak tegas atas
pelanggaran terhadap wilayah kedaulatan RI di Laut Sulawesi. Di wilayah yang dipersengketakan pun ketegangan-ketegangan terjadi antara tentara Malaysia dengan TNI. TNI menggelar pasukan dan kapal-kapal perangnya di wilayah tersebut, yang dikatakan untuk mengimbangi kapal-kapal perang Malaysia yang sudah lebih dulu ada di sana. Bahkan di Pulau Sebatik, yang berbatasan darat dengan Malaysia, TNI dan Tentara Diraja Malaysia saling mengarahkan moncong senjatanya, dan konon saling ejek pun kerap terjadi. Kapal-kapal perang Malaysia diberitakan mengganggu pembangunan mercusuar di atol Karang Unarang, bahkan sempat menangkap dan menyiksa seorang pekerjanya. Saling intimidasi antara kapal-kapal perang Malaysia dan kapal-kapal TNI AL terjadi tiap hari. Yang paling parah terjadi pada tanggal 8 April 2005, ketika KRI Tedong Naga saling serempet dengan KD Rencong di dekat Karang Unarang.
Insiden serempetan dua kapal perang itu kembali menghangatkan suasana, padahal sebelumnya pada tanggal 22-23 Maret 2005, telah diadakan pertemuan teknis antara perwakilan kedua negara untuk mencari solusi yang damai. Menlu Malaysia pun telah diterima presiden, dan beberapa anggota DPR RI pun telah menemui PM Malaysia, untuk membicarakan langkah-langkah diplomasi. Kedua pemerintahan juga sudah sepakat melanjutkan dialog berkala setiap dua bulan.
Analisis Masalah : “Forgiveness” dan “Just Peacemaking”
Untuk mencari alternatif jalan keluar bagi masalah ini, kami akan memulai dengan melihat bagaimana reaksi sangat keras muncul dari masyarakat Indonesia terhadap isu ini. Padahal di Malaysia, menurut Menlu Malaysia dalam wawancaranya dengan Gatra, masyarakatnya tenang-tenang saja dan menyerahkan persoalan sepenuhnya di tangan pemerintah. Memakai pemikiran Shriver dalam bukunya An Ethics for Enemis: Forgivenessin Politics , reaksi keras semacam ini bisa dikatakan sebagai akibat memori kolektif sejarah ‘kekalahan’ Indonesia terhadap Malaysia. Memori masa konfrontasi dengan Malaysia di zaman Sukarno, dan kemudian kekalahan Indonesia dari Malaysia dalam kasus Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional, serta merta membangkitkan kemarahan kolektif juga ketika Malaysia diberitakan ‘berulah’ lagi. Hal ini bisa dilihat dari porsi demikian besar yang diberikan media terhadap masalah ini. Selain itu terlihat juga melalui komentar-komentar yang dilontarkan, bukan hanya oleh masyarakat biasa, tetapi juga oleh para politisi. Banyak yang mendorong pemerintah untuk bersikap keras, bahkan Zaenal Ma’arif, seorang politisi dari Partai Bintang Reformasi (PBR) meminta pemerintah untuk segera menyatakan perang melawan Malaysia.
Bila ditarik lebih jauh lagi, memori kolektif ‘kekalahan’ terhadap Malaysia ini bisa dikaitkan juga dengan kenyataan bahwa jutaan orang Indonesia mengadu nasib sebagai pekerja kelas rendahan di Malaysia. Rasa rendah diri sebagai bangsa bisa jadi tanda disadari telah tertanam dalam memori kolektif bangsa, sehingga ketika ada gejolak sedikit saja, rasa ‘terinjak-injak’ itu begitu kuat. Namun demikian, kami menyadari juga bahwa untuk menelusuri memori kolektif ini, diperlukan penelitian lanjut yang lebih mendalam. Akan tetapi, dengan memperhatikan gejala-gejala yang ada, yaitu dalam reaksi keras masyarakat Indonesia, setiap kali terjadi ‘persinggungan’ dengan Malaysia , kami berpendapat bahwa langkah awal untuk menyelesaikan masalah dengan Malaysia untuk jangka panjang adalah dengan menelusuri dan mengungkapkan memori kolektif itu. Tanpa itu dilakukan, hubungan kedua bangsa yang bertetangga dan bersaudara serumpun ini, akan terus mengalami gejolak seperti yang terjadi belakangan ini.
Selain mencermati reaksi keras masyarakat Indonesia, langkah berikutnya adalah mencermati tindakan Malaysia melakukan klaim atas blok Ambalat ini. Memang informasi yang dapat dikumpulkan tentang hal ini tidak begitu banyak, karena pemerintah Malaysia maupun media Malaysia kelihatannya tidak terlalu membicarakan hal ini dengan terbuka. Akan tetapi, kami tertarik melihat sikap Malaysia yang terlihat begitu enteng dalam melakukan klaim, dan juga begitu yakin akan posisinya.
PM Malaysia ketika ditanya tentang protes Indonesia terhadap klaim Malaysia dengan enteng menyampaikan bahwa konsesi yang diberikan Petronas kepada Shell di perairan Laut Sulawesi berada di wilayah teritorial Malaysia. “Petronas pasti mengerti bahwa wilayah itu adalah wilayah Malaysia karena jika itu wilayah orang lain, untuk apa Petronas sampai ke sana.”
Malaysia juga begitu yakin dengan pendiriannya menarik batas wilayah dengan memakai asas titik pulau terluar, yang berlaku bagi negara kepulauan, padahal Malaysia bukan termasuk Negara kepulauan. Bila memakai prinsip ini, maka terlihat bahwa klaim Malaysia tidak hanya akan mencakup perairan Ambalat saja, tetapi bisa jauh masuk ke dalam wilayah perairan antara Kalimatan bagian Timur dan Sulawesi Utara bagian Barat.
Sikap enteng Malaysia ini oleh beberapa pihak diduga karena Malaysia menganggap masalah ini hanya masalah sumber daya alam. Sementara bagi Indonesia sengketa Ambalat bukanlah sekadar sengketa untuk mendapatkan sumber daya alam. Blok Ambalat merupakan wujud dari wilayah kedaulatan Indonesia. Kehilangan blok Ambalat berarti kehilangan sebagian wilayah kedaulatan. Bahkan blok Ambalat bisa menjadi taruhan bagaimana Indonesia mempertahankan kedaulatannya di wilayah yang dipersengketakan oleh negara lain. Rakyat di Indonesia melihat sengketa blok Ambalat lebih sebagai masalah kedaulatan dan harga diri bangsa ketimbang sekadar perebutan potensi sumber daya alam.
Dengan mengadopsi tujuh langkah penciptaan perdamaiannya Glenn Stassen, apa yang dilakukan Malaysia ini jelas-jelas bukan langkah untuk menciptakan perdamaian. Karena itu adalah tidak ada artinya sama sekali ketika Menlu Malaysia mengatakan bahwa pihaknya siap berunding dengan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh klaimnya.
Langkah pertama dalam penciptaan perdamaian menurut Stassen adalah menetapkan keamanan bersama (affirm common security), dengan membangun tatanan yang damai dan adil bagi semua pihak. Penetapan batas wilayah dengan membuat peta secara sepihak, dengan memakai pertimbangan menurut pengertian sepihak, seperti yang dilakukan oleh Malaysia, adalah tindakan yang bisa dianggap kebalikan dari langkah ini. Penetapan batas wilayah seperti itu justru menggoyahkan keamanan bersama, bahkan menciptakan ancaman bagi pihak yang lain. Ketika ancaman sudah terjadi, dialog yang mau diadakan pun akan menjadi lebih sulit untuk dijalankan dengan baik. Ini terlihat dalam pertemuan teknis Malaysia-Indonesia membahas masalah Ambalat yang diadakan di Bali tanggal 22-23 Maret lalu. Pertemuan itu berakhir tanpa hasil apa-apa, karena kedua pihak tetap pada pendirian masing-masing.
Karena dalam kasus ini ancaman sudah terjadi, dan tatanan yang damai dan adil digoyahkan, langkah kedua yang dianjurkan Stassen perlu diperhatikan baik-baik. Itu adalah mengambil inisiatif lebih dulu untuk perdamaian (take independent initiatives). Dalam kasus ini, pihak yang manakah yang mengambil inisiatif lebih dulu untuk menyelesaikan masalah? Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa telah mengupayakan dialog atas klaim Malaysia ini sejak lama, yaitu sejak tahun 1980, tetapi tidak mendapat tanggapan berarti, sampai kasusnya menjadi besar karena diberikannya konsesi kepada Shell oleh Petronas Malaysia.
Pemerintah Malaysia melalui Menlunya mengatakan bahwa justru Indonesialah yang melakukan inisiatif provokatif, dengan membangun mercusuar di atol Karang Unarang yang diklaim Malaysia sebagai wilayahnya, sedangkan Malaysia selalu siap untuk berunding. Hanya pertanyaan yang diajukan pihak Indonesia adalah berunding dengan kondisi seperti apa? Apakah dengan kondisi melakukan pengakuan implisit akan klaim Malaysia lebih dulu (dengan tidak memasuki lagi wilayah yang sudah diklaim Malaysia)? Pemerintah Indonesia bersikukuh dialog dilakukan dengan tetap membangun mercusuar itu, karena itu termasuk wilayahnya. Jalan tengah yang bisa ditawarkan adalah dengan membiarkan wilayah itu menjadi wilayah tak bertuan untuk sementara, sampai ditemukan titik temu melalui dialog. Namun, melihat perkembangan yang ada sekarang. Kelihatannya pilihan status quo itu juga enggan untuk diterima.
Akan tetapi, ada langkah ketiga menurut Stassen, yaitu Talk to your enemy. Bicaralah, lakukan negosiasi/perundingan, cari jalan keluar dengan memakai metode-metode penyelesaian konflik Tentang hal ini, sudah dilakukan satu kali dan belum berhasil. Namun dijanjikan untuk bertemu kembali bulan Mei, dan kita harus menunggu.
Sambil menunggu, langkah keempat mungkin bisa dilakukan. Itu adalah mengutamakan hak asasi manusia dan keadilan. Penyelesaian konflik yang sudah terjadi harus mengingat hal ini. Kampanye-kampanye anti Malaysia dengan semangat berperang seperti membentuk Front Ganyang Malaysia, merekrut sukarelawan yang siap membela tanah air melawan Malaysia, harus ditinggalkan. Perang hanya akan meninggalkan kesengsaraan. Pengalaman konfrontasi berdarah di masa Soekarno seharusnya menjadi pelajaran. Banyak jiwa yang melayang dan perekonomian negara pun morat marit karenanya. Yang harus dikampanyekan adalah bagaimana menyembuhkan luka-luka bersama akibat
memori kolektif tadi itu.
Selain itu, satu hal lain yang harus diperhatikan pemerintah Indonesia adalah meningkatkan perhatiannya terhadap wilayah-wilayah terluar Indonesia. Sudah lama wilayah-wilayah perbatasan seperti di ujung Barat Sumatera, ujung Utara Sulawesi, ujung Selatan Timor, dan ujung Timur Papua, menjadi ‘anak terlantar’. Perhatian melalui pembangunan fasilitas sosial bagi masyarakat di wilayah-wilayah ini sangat penting. Sipadan dan Ligitan ditetapkan sebagai wilayah Malaysia oleh Mahkamah Internasional di tahun 1998 juga karena kedua wilayah itu tidak pernah ‘disentuh’ oleh Indonesia, namun dibangun dan dikelola oleh Malaysia.
Langkah kelima dan keenam, yang menurut kami masih berkaitan erat adalah Memutus lingkaran setan kekerasan, turut serta dalam penciptaan perdamaian dan Mengakhiri propaganda saling menyalahkan, termasuk memberikan kompensasi/ganti rugi kepada yang dirugikan. Langkah-langkah ini sangat penting, dan dalam kasus Malaysia dan Indonesia, menurut saya kedua bangsa harus menoleh bersama ke belakang, sejarah konflik yang pernah terjadi antara kedua bangsa harus diungkapkan, dan kemudian mencari jalan untuk mengakhiri semua kecurigaan satu dengan yang lain .Kedua langkah ini terkait erat dengan teori Shriver, “mengungkapkan untuk mengingat kejahatan yang sudah dilakukan, dan kemudian mengampuni.”
Kemudian langkah yang terakhir adalah bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan konflik ini dengan transparan dan terbuka. Semua upaya untuk pengungkapan masalah dilakukan dengan jujur dan terbuka untuk kedua bangsa. Kami tidak setuju dengan pendapat Menlu Malaysia yang mengatakan bahwa masalah ini hanya masalah teknis sehingga masyarakat Malaysia tidak perlu tahu. Ini hanya urusan dua pemerintahan.
Proses negosiasi, kemajuan-kemajuan dan hambatan-hambatannya harus dibuat terbuka kepada publik, sehingga publik bisa turut berpartisipasi dengan menyumbangkan opininya.









BAB IV
PENUTUP
A.Kesimpulan
Geopolitik diartikan sebagai sistem politik atau peraturan-peraturan dalam wujud kebijaksanaan dan strategi nasional yang didorong oleh aspirasi nasional geografik (kepentingan yang titik beratnya terletak pada pertimbangan geografi, wilayah atau territorial dalam arti luas) suatu Negara, yang apabila dilaksanakan dan berhasil akan berdampak langsung kepada system politik suatu Negara. Sebaliknya, politik Negara itu secara langsung akan berdampak pada geografi Negara yang bersangkutan. Geopolitik bertumpu pada geografi sosial (hukum geografis), mengenai situasi, kondisi, atau konstelasi geografi dan segala sesuatu yang dianggap relevan dengan karakteristik geografi suatu Negara.
Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang saling berdekatan dan menjalin hubungan bilateral yang sudah berlangsung sejak lama. Meski demikian, antara kedua negara ini sering terjadi perselisihan, khususnya mengenai permasalah batas wilayah. Fakta memperlihatkan beberapa pulau yang telah diambil oleh pihak Malaysia dari Indonesia, contohnya seperti Pulau Sipadan dan Ligitan. Dan hingga kini yang menjadi permasalahan terbaru, kedua pihak tersebut sedang memperebutkan satu wilayah yang kaya akan sumber daya minyak. Malaysia mengklaim daerah Ambalat, yang terletak di sebelah timur Pulau Kalimantan Timur tersebut termasuk kedalam kepemilikan wilayahnya. Indonesia yang memiliki bukti kuat atas kepemilikannya, tidak begitu saja menerima pernyataan mentah tersebut. Sehingga hal ini membuat sautu hubungan yang kurang baik di antara dua pihak melalui konflik yang ditimbulkan. Dan parahnya, sampai sekarang belum didapatkan jalan keluar yang dapat menguntungkan kedua belah pihak.
Dari kesimpulan yang dapat kami kemukakan di atas. Kami mengaharapkan agar pemerintah Indonesia dapat lebih tegas dalam menyegerakan permasalahan Ambalat tersebut. Karena hal ini dapat menunjukkan Sistem Geopolitik Indonesia yang kuat kepada seluruh dunia. Supaya mereka tidak dengan mudah meremehkan martabat bangsa Indonesia. Indonesia telah merdeka, maka sepatutnya kita menghapuskan segala praktek yang bertautan dengan asas kemerdekaan yang telah direnggut bangsa Indonesia.
Bagi masyarakat Indonesia sendiri, jangan mudah terpengaruh untuk melakukan aksi kekerasan dan tak beretika demi mengungkapkan aspirasinya terhadap permasalahan yang dimaksud. Kita harus tetap berkepala dingin dalam menyelesaikan berbagai permasalahan, bukankah itu adalah hal yang paling baik untuk tidak menebar kebencian dan kerusakan di muka bumi ini. Untuk itu selesaikanlah kasus ini dengan cara damai mencapai jalan keluar yang saling menguntungkan Indonesia dengan negara serumpunnya, Negeri Jiran Malaysia.
B. Saran
Sebagai poin akhir dalam penulisan makalah ini kami menuangkan beberapa saran yang semoga dapat direnungkan oleh para pembaca. Adapun saran yang kami sampaikan ialah.
1. Sebagai negara yang berasaskan Pancasila, hendaknya para pemimpin kita dapat bertindak bijak dalam mengambil langkah penyelesai masalah bangsa kita ini.
2. Pemerintahan khususnya dan rakyat pada umumnya jangan hanya responsif ketika masalah telah muncul, tetapi haruslah bertindak preventif sebelum timbulnya masalah.
3. Para masyarakat jangan cepat terprovokasi oleh oknum dalam setip timbulnya permasalahan yang terjadi di negara kita sebelum mengetahui secara jelas akar dari permasalahan itu.
4. Pandangan bahwa kasus sengketa ini merupakan konsekuensi dari ketiak becusan pemerintah memandatkan dan memperhatikan pulau-pulau kecil di perbatasan padahal jika pemanfaatan ini di realisasikan pemerintah justru akan menghasilkan penambahan pendapatan untuk negara.
5. Sebagai calon seorang guru yang sedang menuntut ilmu teruslah isi kemerdekaan bangsa yang telah di rebut sesah payah oleh para pahlawan dengan melakukan aktivitas yang positif untuk membuahkan karya yang berguna bagi kemaslahatan umat.




















DAFTAR PUSTAKA


http://kompas.com/kompas-cetak/0412/28/ekonomi/1464300.htm
http://mediaindo.co.id
http://www.esdm.go.id/beritagas.php?news_id=468


































OLEH:
SAIFUL MUARIF






SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) MADIUN

Tahun akademik 2008/2009


KASUS SENGKETA INDONESIA-MALAYSIA
DALAM GEOPOLITIK WAWASAN NUSANTARA


KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim,,,
Puji syukur atas ke-hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga kita dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya, sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW.
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas UAS Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dengan dosen Ibu.Annisa Sriwahyuni. Dalam makalah ini kami membahas tentang “Kasus Sengketa Indonesia-Malaysia Dalam pkn” yang berisi tentang Wawasan Nusantara dengan teori geopolitiknya dan seputar konflik sengketa pulau perbatasan antara Indonesia Vs Malaysia silam yang sempat mengancam terputusnya hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia, untuk lebih jelasnya para pembaca dapat melihat lebih jauh isi makalah saya.
Terselesaikannya makalah ini tidak lepas dari bantuan semua pihak, baik dosen dan teman-teman sekalian. Oleh karena itu, saya mengucapkan terimakasih khususnya pada Ibu.Annisa Sriwahyuni yang telah memberi bimbingan dan dorongan kepada saya, serta bagi semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi tercapainya kesempurnaan makalah ini. Saya berharap semoga makalah ini dapat membawa manfaat khususnya bagi saya selaku penulis dan umumnya bagi pembaca. Amin…



Madiun,3 juli 2009
Penulis

SAIFUL MUARIF



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN 3
A. Pengertian geopolitik Indonesia
B. Wawasan nusantara
BAB II ISI 5
Studi Kasus terkait Geopolitik Indonesia.
A. Ambalat, Diplomasi Vs Konfrontasi
B. Tanggapan dan Beberapa Solusi Mengenai Kasus Ambalat
BAB IV PENUTUP 14
A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA 11 16













BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam hubungan dengan kehidupan manusia dalam suatu Negara dalam hubungannya dengan lingkungan alam, kehidupan manusia di dunia mempunyai kedudukan sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa dan sebagai wakil Tuhan (khlifatullah) di bumi yang menerima amanatnya untuk mengelola kekayaan alam. Sebagai hamba Tuhan mempunyai kewajiban untuk beribadah dan menyembah Tuhan sang pencipta dengan penuh ketulusan. Adapun sebagai wakil Tuhan di bumi, manusia dalam hidupnya berkewajiban memelihara dan dan memanfaatkan segenap karunia kekayaan alam dengan sebaik-baiknya untuk kebutuhan hidupnya. Kedudukan manusia tersebut mencakup tiga segi hubungan, yaitu: Hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan antar manusia, dan hubungan antara manusia dengan makhluk lainnya. Bangsa Indonesia sebagai umat manusia religious dengan sendirinya harus dapat berperan sesuai dengan kedudukan tersebut.
Sebagai Negara kepulauan dengan masyarakatnya yang beraneka ragam, Negara Indonesia memiliki unsure-unsur kekuatan dan sekaligus kelemahan. Kekuatannya terletak pada posisi dan keadaan geografi yang strategi dan kaya akan sumber daya alam. Sementara kelemahannya terletak pada wujud kepulauan dan keanekaragaman masyarakat yang harus disatukan dalam satu bangsa dan satu tanah air, sebagaimana telah diperjuangkan oleh para pendiri Negara.
Dalam pelaksanannya bangsa Indonesia tidak bebas dari pengaruh interaksi dan interelasi dengan lingkungan sekitarnya, baik lingkungan regional maupun internasional. Dalam hal ini bangsa Indonesia perlu memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai pedoman agar tidak terombang-ambing dalam memperjuangkan kepentingan nasional untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasionalnya. Salah satu pedoman bangsa Indonesia adalah wawasan nasional yang berpijak pada wujud wilayah nusantara. Sehingga kelompok kami menjadikan kasus Ambalat yang menjadi Studi kasus dalam tugas kelompok ini.
B. Rumusan masalah
Dari latar belakang yang telah ada, penulis merumuskan beberapa permasalahan diantaranya :
1. Bagaimana hubungan wawasan nusantara dan ketahan Nasional?
2. Apa yang menjadi salah satu studi kasus terkait tema, dimana hal itu merupakan informasi terkini pada bangsa Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan suatu makalah tentunya harus memiliki beberapa hal yang direncanakan sebagai tujuan penulisan. Adapun tujuan penulisan makalah ini ialah.
1. Makalah ini digunakan untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
2. Menambah wawasan tentang tanah air Indonesia dan mengetahui latar belakang bangsa sendiri.
3. Memahami pengertian fungsi dan tujuan adanya Wawasan Nusantara.
4. Mengetahui konflik bilateral antara negara Indonesia dan Malaysia untuk mengambil sebuah pelajaran dari hal tersebut.
5. Membangkitkan semangat cinta tanah air dan bangsa.















BAB II
PEMBAHASAN
GEOPOLITIK INDONESIA DAN STUDI KASUSNYA YANG RELEVAN
A. Geopolitik Indonesia
Pengertian
Geopolitik diartikan sebagai sistem politik atau peraturan-peraturan dalam wujud kebijaksanaan dan strategi nasional yang didorong oleh aspirasi nasional geografik (kepentingan yang titik beratnya terletak pada pertimbangan geografi, wilayah atau territorial dalam arti luas) suatu Negara, yang apabila dilaksanakan dan berhasil akan berdampak langsung kepada system politik suatu Negara. Sebaliknya, politik Negara itu secara langsung akan berdampak pada geografi Negara yang bersangkutan. Geopolitik bertumpu pada geografi sosial (hukum geografis), mengenai situasi, kondisi, atau konstelasi geografi dan segala sesuatu yang dianggap relevan dengan karakteristik geografi suatu Negara.
Sebagai Negara kepulauan, dengan masyarakat yang berbhinneka, Negara Indonesia memiliki unsur-unsur kekuatan sekaligus kelemahan. Kekuatannya terletak pada posisi dan keadaan geografi yang strategis dan kaya sumber daya alam. Sementara kelemahannya terletak pada wujud kepulauan dan keanekaragaman masyarakat yang harus disatukan dalam satu bangsa dan satu tanah air, sebagaimana telah diperjuangkan oleh para pendiri Negara ini. Dorongan kuat untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia tercermin pada momentum sumpah pemuda tahun 1928 dan kemudian dilanjutkan dengan perjuangan kemerdekaan yang puncaknya terjadi pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Penyelenggaraan Negara kesatuan Republik Indonesia sebagai system kehidupan nasional bersumber dari dan bermuara pada landasan ideal pandangan hidup dan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. dalam pelaksanaannya bangsa Indonesia tidak bebas dari pengaruh interaksi dan interelasi dengan lingkungan sekitarnya, baik lingkungan regional maupun internasional. Dalam hal ini bangsa Indonesia perlu memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai pedoman agar tidak terombang-ambing dalam memperjuangkan kepentingan nasional untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasionalnya. Salah satu pedoman bangsa Indonesia adalah wawasan nasional yang berpijak pada wujud wilayah nusantara sehingga disebut dengan wawasan nusantara. Kepentingan nasional yang mendasar bagi bangsa Indonesia adalah upaya menjamin persatuan dan kesatuan wilayah, bangsa, dan segenap aspek kehidupan nasionalnya. Karena hanya dengan upaya inilah bangsa dan Negara Indonesia dapat tetap eksis dan dapat melanjutkan perjuangan menuju masyarakat yang dicita-citakan.
Oleh karena itu, wawasan nusantara adalah geopolitik Indonesia. Hal ini dipahami berdasarkan pengertian bahwa dalam wawasan nusantara terkandung konsepsi geopolitik Indonesia, yaitu unsur ruang, yang kini berkembang tidak saja secara fisik geografis, melainkan dalam pengertian secara keseluruhan (Suradinata; Sumiarno: 2005).
B.Wawasan nusantara
Pengertian Wawasan Nusantara
Istilah Wawasan Nusantara terdiri dari dua buah kata yakni ‘wawasan’ dan ‘nusantara’. Wawasan berasal dari kata ‘wawas’ yang berarti pandangan, tinjauan atau penglihatan inderawi. Akar kata ini membentuk kata ‘mawas’ yang berarti memandang, meninjau atau melihat. Sehingga wawasan dapat berarti cara pandang, cara meninjau, atau cara melihat. Sedangkan Nusantara berasal dari kata ‘nusa’ yang berarti pulau–pulau, dan ‘antara’ yang berarti diapit di antara dua hal (dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia serta dua samudra yakni samudra Pasifik dan samudra Hindia). Berdasarkan teori-teori tentang wawasan, latar belakang falsafah Pancasila, latar belakang pemikiran aspek kewilayahan, aspek sosial budaya, dan aspek kesejarahan, terbentuklah satu Wawasan Nasional Indonesia yang disebut Wawasan Nusantara.
Secara umum Wawasan Nasional berarti cara pandang suatu bangsa tentang diri dan lingkungannya yang dijabarkan dari dasar falsafah dan sejarah bangsa itu sesuai dengan posisi dan kondisi geografi negaranya untuk mencapai tujuan atau cita–cita nasionalnya. Sedangkan arti dari Wawasan Nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan geografi wilayah nusantara yang menjiwai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan atau cita–cita nasionalnya. Dengan demikian wawasan nusantara berperan untuk membimbing bangsa Indonesia dalam penyelenggaraan kehidupannya serta sebagai rambu–rambu dalam perjuangan mengisi kemerdekaan. Wawasan nusantara sebagai cara pandang juga mengajarkan bagaimana pentingnya membina persatuan dan kesatuan dalam segenap aspek kehidupan bangsa dan negara dalam mencapai tujuan dan cita-citanya.




BAB III
ISI
1.Studi Kasus terkait Geopolitik Indonesia.
A. Ambalat, Diplomasi Vs Konfrontasi
AMBALAT kembali mencuri perhatian. Kapal perang Malaysia berkali- kali melanggar teritori Indonesia dan diusir armada angkatan laut kita. Mencuat pada 2005, mengapa krisis Ambalat kembali terjadi? Apa solusi terbaiknya? Ambalat adalah sebuah gugus pulau di sekitar 118.2558 Bujur Timur (BT)-118.254167 BT dan 2.56861 Lintang Utara (LU)- 3.79722 LU yang terletak di perairan Laut Sulawesi, sebelah timur Pulau Kalimantan Timur. Sengketa Ambalat Indonesia-Malaysia menyeruak karena klaim kepemilikan. Pada 2005, krisis Ambalat ditandai dengan show of force kedua angkatan bersenjata, penembakan kapal nelayan kita oleh Malaysia, dan aneka aksi demonstrasi mengecam Malaysia. Ambalat disebut sebagai wilayah Republik Indonesia (RI) sesuai Undang-undang No 4 Tahun 1960 tentang Perairan RI yang telah sesuai dengan konsep hukum Negara Kepulauan (Archipelagic State). Undang-undang ini telah diakui dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) ditetapkan dalam Konferensi III PBB di Montego Boy, Jamaika, 10 Desember 1982. Konvensi ini kemudian diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-undang No 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS.
Malaysia mengklaim Ambalat sebagai wilayah kedaulatannya sesuai dengan peta wilayah yang dibuat Malaysia pada 1979. Peta itu didasarkan pada The Convention on The Territorial Sea and the Contiguous zone 1958 dan The Continental Self Convention 1958.

Peta Laut 1979 tersebut juga telah memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan ke dalam wilayah Malaysia. Malaysia memberi Ambalat (wilayah XYZ) kepada Shell atas dasar perjanjian bagi hasil (Production Sharing Contract ) pada 16 Februari 2005.
Masalah Penting
Masalah Ambalat menjadi penting bagi Indonesia karena setidak-tidaknya ia mencakup tiga dari empat variabel kepentingan nasional. Pertama, dari sisi keamanan nasional, ada masalah penjagaan integritas wilayah nasional yang cukup sensitif. Bagi kaum realisme politik internasional, masalah- masalah keamanan nasional semacam ini justru menjadi fokus utama kebijakan negara. Pengamat militer, Andi Wijayanto dalam wawancara TVOne (27/5/09) menyatakan, langkah Malaysia sejatinya bisa dimaknai sebagai upaya ingin menguji kedaulatan efektif kita atas Ambalat.
Kedua, ada persoalan citra dan harga diri bangsa karena perasaan terlecehkan sebagai negara berdaulat dengan manuver angkatan laut Malaysia. Ini berakumulasi dengan memori kehilangan kita atas Sipadan dan Ligitan, aneka kasus kekerasan pada TKI, klaim Malaysia atas Lagu ”Rasa Sayange”, reog dan batik misalnya. Artinya para patriot dan nasionalis menginginkan bahwa harga diri kita harus tegak sebagai bangsa berdaulat.

Ketiga ada ancaman bagi kesejahteraan ekonomi karena potensi ekonomi dari minyak Ambalat ditakutkan jatuh ke pihak luar. Pakar ekonomi minyak Dr Kurtubi pada 2005 menyatakan secara kasar Ambalat memiliki cadangan migas seharga 40 miliar dolar AS. Tentu, nilai ini cukup signifikan jika bisa masuk ke kas negara kita
Dengan ketiga kepentingan nasional tersebut, maka pilihan instrumen politik luar negeri yang tersedia adalah diplomasi atau konfrontasi. Namun diplomasi memiliki beberapa kelebihan. Pertama, pada tataran praktik, secara nyata telah ada upaya diplomasi sejak 2005 yang dijalankan kedua negara untuk menyelesaikan Ambalat. Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono (20/5/09) juga menyatakan perundingan Ambalat masih berlangsung. Artinya pilihan penyelesaian diplomatik adalah yang paling rasional meski harus dikawal.
Komunikasi Diplomatik
Penyelesaian diplomatik dimulai dengan pembukaan komunikasi diplomatik Indonesia dengan Malaysia (keterangan pers Departemen Luar Negeri, Jumat 4 Maret 2005). Malaysia menjawab pada 25 Februari 2005 dengan menyampaikan pandangan mereka bahwa wilayah itu adalah wilayahnya. Presiden SBY kemudian berkomunikasi dengan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi melalui telepon Senin 8 Maret 2005 sebelum meninjau Ambalat. Pembicaraan berlangsung konstruktif untuk menyelesaikan masalah dengan baik dan Badawi pun akan mengirimkan Menteri Luar Negeri Malaysia untuk mengunjungi Indonesia.
Diplomasi memasuki babak baru setelah Menlu Malaysia Syed Hamid Albar bertemu dengan Menlu RI Hasan Wirajuda di Jakarta (9/3/2005) bahkan diterima oleh Presiden SBY. Dalam pertemuan antarmenlu telah disepakati bahwa kedua belah pihak akan membentuk tim teknis yang akan melakukan perundingan ke arah penyelesaian Blok Ambalat. Pertemuan ”penyelesaian diplomasi” pertama dilakukan pada 22 dan 23 Maret 2005. Pertemuan tim teknis Indonesia-Malaysia dilanjutkan di Langkawi pada 25-26 Mei, di Yogyakarta 25-26 Juli, di Johor Baru pada 27-28 September 2005 dan Desember 2005.

Namun hingga 2006 masalah sengketa Blok Ambalat antara Malaysia dan Indonesia masih dalam proses perundingan oleh kedua negara dan belum ada penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua negara. Dalam pertemuan bilateral antara PM Abdullah Ahmad Badawi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Gedung Negara Tri Arga, Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 12-13 Januari 2006 telah disepakati bahwa, sengketa Blok Ambalat akan terus diselesaikan secara perundingan.
Kedua, secara moral penyelesaian diplomasi lebih dipilih karena diplomasi merupakan instrumen politik luar negeri yang beradab, murah, dan terukur. Konfrontasi dan perang semakin banyak dicibir karena tidak hanya mahal tetapi juga karena efek rusaknya yang sulit terkontrol. Yang menyedihkan adalah analisa bahwa dari sisi Alutsista kita akan kalah. Perintah untuk tidak mengeluarkan tembakan dari kapal perang kita da cukup mengusir kapal Malaysia cukup bijaksana. Alasan lain, Indonesia dan Malaysia adalah tetangga serumpun yang ada dalam kerangka ”the ASEAN Way” dalam penyelesaian aneka sengketa yang ada.
Fase Diplomasi
Alur penyelesaian diplomatik yang telah disepakati sendiri mencakup dua fase. Fase pertama adalah pembicaraan untuk mengeksplorasi dan mengetahui posisi masing-masing negara atas klaimnya di Blok Ambalat. Fase kedua adalah bagaimana kedua negara bisa menyepakati jalan keluar dari klaim tumpang tindih atas Blok Ambalat. Jalan keluar ini ada tiga alternatif. Satu, negara yang bersengketa tidak menyepakati solusi dan membiarkan permasalahan ini tidak terselesaikan (baca: mengambang) dengan catatan negara yang bersengketa menyepakati suatu status quo. Dua, negara yang bersengketa tidak menyepakati batas, tetapi bersepakat untuk melakukan pengelolaan bersama. Tiga, negara yang bersengketa sepakat untuk membawa sengketa mereka ke forum penyelesaian sengketa. Alur penyelesaian diplomatik yang telah disepakati sendiri mencakup dua fase. Fase pertama adalah pembicaraan untuk mengeksplorasi dan mengetahui posisi masing-masing negara atas klaimnya di Blok Ambalat. Fase kedua adalah bagaimana kedua negara bisa menyepakati jalan keluar dari klaim tumpang tindih atas Blok Ambalat.
Jika diplomasi gagal maka krisis bisa kembali terjadi kapan saja. Konfrontasi akan sangat kontra produktif bagi hubungan bilateral, maupun stabilitas regional ASEAN ke depan. Krisis dan konfrontasi juga akan berakibat perluasan spektrum politik luar negeri tidak lagi semata menjadi pembahasan para elite decision makers tetapi meluas merambah ke wilayah keterlibatan publik. Ini tentu saja positif dalam konteks demokratisasi politik luar negeri agar kebijakan yang diambil accountable terhadap rakyat.
Tetapi sayang, mencermati krisis terdahulu, keterlibatan publik lebih cenderung mengarah kepada ekspresi emosi, kemarahan, sweeping, ajakan berperang, penggalangan relawan dan sebagainya. Padahal eloknya keterlibatan itu lebih terarah kepada pernyataan sikap, artikulasi kepentingan, maupaun aksi yang rasional dan terukur.
Penyelesaian Ambalat membutuhkan tidak hanya tekad dan upaya diplomasi bilateral berkelanjutan tetapi juga sikap saling respek untuk tidak melakukan provokasi. Selagi diplomasi masih bergulir, provokasi dan pelanggaran teritori tentu berbahaya. Bagi Indonesia, diplomasi juga harus dikawal dengan menunjukkan kewibawaan, kekuatan dan ketegasan. Kaum realis mengatakan, ‘’Jika ingin damai bersiaplah untuk berperang’’ (if you want peace, prepare for war).
B. Tanggapan dan Beberapa Solusi Mengenai Kasus Ambalat
Pendahuluan
Malaysia dan Indonesia adalah dua negara tetangga yang sangat dekat, bukan hanya dari segi letak geografis tetapi dari segi budaya dan asal-usul bangsanya. Akan tetapi, walau serumpun dengan bahasa yang mirip, hubungan kedua negara tidak bisa dikatakan selalu rukun dan manis. Sejarah kedua bangsa pernah dihiasi tinta hitam peperangan, yang dikenal dengan Konfrontasi Malaysia Indonesia pada tahun 1962-1965. Beberapa kasus sengketa perbatasan wilayah pun pernah terjadi antara keduanya.
Kasus yang paling baru, dan yang menjadi pembicaraan hangat beberapa bulan belakangan ini adalah sengketa kedua negara mengenai blok migas di perairan Ambalat di wilayah Sulawesi. Sengketa ini menjadi berita hangat yang menghiasi media massa, di Indonesia khususnya. Melalui makalah ini kami ingin mencoba melihat bagaimana sengketa ini diselesaikan jika memakai pemikiran Donald W. Shriver dalam bukunya An Ethics for Enemis: Forgiveness in Politics, dan tujuh langkah menciptakan perdamaian menurut Glenn Stassen dalam bukunya Just Peacemaking: transforming initiatives for
Justice and Peace
.Pokok Masalah : Perairan Ambalat di Laut Sulawesi
Masalah antara Indonesia dan Malaysia seputar blok Ambalat mengemuka ketika terbetik kabar bahwa pemerintah Malaysia melalui perusahaan minyak nasionalnya, Petronas, memberikan konsesi minyak (production sharing contract) kepada perusahaan minyak Shell, atas cadangan minyak yang terletak di Laut Sulawesi (perairan sebelah timur Kalimantan). Pemerintah Indonesia mengajukan protes atas hal ini karena merasa bahwa wilayah itu berada dalam kedaulatan negara Indonesia.
Sebenarnya klaim Malaysia terhadap cadangan minyak di wilayah itu sudah diprotes Indonesia sejak tahun 1980, menyusul diterbitkannya peta wilayah Malaysia pada tahun 1979. Peta tersebut mengklaim wilayah di Laut Sulawesi sebagai milik Malaysia dengan didasarkan pada kepemilikan negara itu atas pulau Sipadan dan Ligitan. Malaysia beranggapan bahwa dengan dimasukkannya Sipadan dan Ligitan sebagai wilayah kedaulatan Malaysia, secara otomatis perairan di Laut Sulawesi tersebut masuk dalam garis wilayahnya. Indonesia menolak klaim demikian dengan alasan bahwa klaim tersebut bertentangan dengan hukum internasional.
Untuk memperjelas pokok permasalahan mengenai sengketa wilayah ini, kutipan dari tulisan Melda Kamil Ariadno, Pengajar Hukum Laut Fakultas Hukum UI, Ketua Lembaga Pengkajian Hukum Internasional (LPHI) FHUI, yang dimuat di Kompas, 8 Maret 2005, dapat membantu.
Aksi dan Reaksi Yang Ditimbulkan
Walaupun pemerintah Indonesia dan Malaysia berulang kali menegaskan bahwa penyelesaian dengan cara kekerasan bukanlah pilihan yang mau diambil, dan kedua pihak akan mengedepankan dialog melalui jalur-jalur diplomasi, masalah ini berkembang menjadi perdebatan seru karena kedua pihak sama-sama kukuh pada pendiriannya. Malaysia melalui Perdana Menteri Abdullah Badawi dan Menlu Syeh Hamid Albar menegaskan bahwa pihaknya tidak salah dalam melakukan uniteralisasi peta 1979, dan bahwa konsesi yang diberikan Petronas kepada Shell di perairan Laut Sulawesi berada di
wilayah teritorial Malaysia. Sementara pemerintah Indonesia melalui pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan Deplu, TNI, maupun presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menegaskan bahwa Indonesia tidak akan melepaskan wilayah itu karena wilayah itu merupakan kedaulatan penuh Indonesia. Tentang hal itu jurubicara TNI AL, Laksamana Pertama Abdul Malik Yusuf mengatakan kepada Asia Times, “We will not let an inch of our land or a drop of our ocean fall into the hands of foreigners.”
Di Indonesia masalah ini kemudian menjadi santapan media massa dan memancing reaksi keras dari berbagai kalangan masyarakat. Sentimen anti-Malaysia dengan slogan “Ganyang Malaysia” pun lalu berkumandang. Kedutaan Besar dan Konsulat-konsulat Malaysia tiba-tiba disibukkan dengan aksi unjuk rasa berbagai elemen masyarakat yang mengecam sikap Malaysia itu. Di beberapa daerah aksi tersebut diwarnai dengan pembakaran bendera Malaysia dan penggalangan sukarelawan “Front Ganyang Malaysia.” Pihak DPR-RI pun bersuara keras meminta pemerintah bertindak tegas atas
pelanggaran terhadap wilayah kedaulatan RI di Laut Sulawesi. Di wilayah yang dipersengketakan pun ketegangan-ketegangan terjadi antara tentara Malaysia dengan TNI. TNI menggelar pasukan dan kapal-kapal perangnya di wilayah tersebut, yang dikatakan untuk mengimbangi kapal-kapal perang Malaysia yang sudah lebih dulu ada di sana. Bahkan di Pulau Sebatik, yang berbatasan darat dengan Malaysia, TNI dan Tentara Diraja Malaysia saling mengarahkan moncong senjatanya, dan konon saling ejek pun kerap terjadi. Kapal-kapal perang Malaysia diberitakan mengganggu pembangunan mercusuar di atol Karang Unarang, bahkan sempat menangkap dan menyiksa seorang pekerjanya. Saling intimidasi antara kapal-kapal perang Malaysia dan kapal-kapal TNI AL terjadi tiap hari. Yang paling parah terjadi pada tanggal 8 April 2005, ketika KRI Tedong Naga saling serempet dengan KD Rencong di dekat Karang Unarang.
Insiden serempetan dua kapal perang itu kembali menghangatkan suasana, padahal sebelumnya pada tanggal 22-23 Maret 2005, telah diadakan pertemuan teknis antara perwakilan kedua negara untuk mencari solusi yang damai. Menlu Malaysia pun telah diterima presiden, dan beberapa anggota DPR RI pun telah menemui PM Malaysia, untuk membicarakan langkah-langkah diplomasi. Kedua pemerintahan juga sudah sepakat melanjutkan dialog berkala setiap dua bulan.
Analisis Masalah : “Forgiveness” dan “Just Peacemaking”
Untuk mencari alternatif jalan keluar bagi masalah ini, kami akan memulai dengan melihat bagaimana reaksi sangat keras muncul dari masyarakat Indonesia terhadap isu ini. Padahal di Malaysia, menurut Menlu Malaysia dalam wawancaranya dengan Gatra, masyarakatnya tenang-tenang saja dan menyerahkan persoalan sepenuhnya di tangan pemerintah. Memakai pemikiran Shriver dalam bukunya An Ethics for Enemis: Forgivenessin Politics , reaksi keras semacam ini bisa dikatakan sebagai akibat memori kolektif sejarah ‘kekalahan’ Indonesia terhadap Malaysia. Memori masa konfrontasi dengan Malaysia di zaman Sukarno, dan kemudian kekalahan Indonesia dari Malaysia dalam kasus Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional, serta merta membangkitkan kemarahan kolektif juga ketika Malaysia diberitakan ‘berulah’ lagi. Hal ini bisa dilihat dari porsi demikian besar yang diberikan media terhadap masalah ini. Selain itu terlihat juga melalui komentar-komentar yang dilontarkan, bukan hanya oleh masyarakat biasa, tetapi juga oleh para politisi. Banyak yang mendorong pemerintah untuk bersikap keras, bahkan Zaenal Ma’arif, seorang politisi dari Partai Bintang Reformasi (PBR) meminta pemerintah untuk segera menyatakan perang melawan Malaysia.
Bila ditarik lebih jauh lagi, memori kolektif ‘kekalahan’ terhadap Malaysia ini bisa dikaitkan juga dengan kenyataan bahwa jutaan orang Indonesia mengadu nasib sebagai pekerja kelas rendahan di Malaysia. Rasa rendah diri sebagai bangsa bisa jadi tanda disadari telah tertanam dalam memori kolektif bangsa, sehingga ketika ada gejolak sedikit saja, rasa ‘terinjak-injak’ itu begitu kuat. Namun demikian, kami menyadari juga bahwa untuk menelusuri memori kolektif ini, diperlukan penelitian lanjut yang lebih mendalam. Akan tetapi, dengan memperhatikan gejala-gejala yang ada, yaitu dalam reaksi keras masyarakat Indonesia, setiap kali terjadi ‘persinggungan’ dengan Malaysia , kami berpendapat bahwa langkah awal untuk menyelesaikan masalah dengan Malaysia untuk jangka panjang adalah dengan menelusuri dan mengungkapkan memori kolektif itu. Tanpa itu dilakukan, hubungan kedua bangsa yang bertetangga dan bersaudara serumpun ini, akan terus mengalami gejolak seperti yang terjadi belakangan ini.
Selain mencermati reaksi keras masyarakat Indonesia, langkah berikutnya adalah mencermati tindakan Malaysia melakukan klaim atas blok Ambalat ini. Memang informasi yang dapat dikumpulkan tentang hal ini tidak begitu banyak, karena pemerintah Malaysia maupun media Malaysia kelihatannya tidak terlalu membicarakan hal ini dengan terbuka. Akan tetapi, kami tertarik melihat sikap Malaysia yang terlihat begitu enteng dalam melakukan klaim, dan juga begitu yakin akan posisinya.
PM Malaysia ketika ditanya tentang protes Indonesia terhadap klaim Malaysia dengan enteng menyampaikan bahwa konsesi yang diberikan Petronas kepada Shell di perairan Laut Sulawesi berada di wilayah teritorial Malaysia. “Petronas pasti mengerti bahwa wilayah itu adalah wilayah Malaysia karena jika itu wilayah orang lain, untuk apa Petronas sampai ke sana.”
Malaysia juga begitu yakin dengan pendiriannya menarik batas wilayah dengan memakai asas titik pulau terluar, yang berlaku bagi negara kepulauan, padahal Malaysia bukan termasuk Negara kepulauan. Bila memakai prinsip ini, maka terlihat bahwa klaim Malaysia tidak hanya akan mencakup perairan Ambalat saja, tetapi bisa jauh masuk ke dalam wilayah perairan antara Kalimatan bagian Timur dan Sulawesi Utara bagian Barat.
Sikap enteng Malaysia ini oleh beberapa pihak diduga karena Malaysia menganggap masalah ini hanya masalah sumber daya alam. Sementara bagi Indonesia sengketa Ambalat bukanlah sekadar sengketa untuk mendapatkan sumber daya alam. Blok Ambalat merupakan wujud dari wilayah kedaulatan Indonesia. Kehilangan blok Ambalat berarti kehilangan sebagian wilayah kedaulatan. Bahkan blok Ambalat bisa menjadi taruhan bagaimana Indonesia mempertahankan kedaulatannya di wilayah yang dipersengketakan oleh negara lain. Rakyat di Indonesia melihat sengketa blok Ambalat lebih sebagai masalah kedaulatan dan harga diri bangsa ketimbang sekadar perebutan potensi sumber daya alam.
Dengan mengadopsi tujuh langkah penciptaan perdamaiannya Glenn Stassen, apa yang dilakukan Malaysia ini jelas-jelas bukan langkah untuk menciptakan perdamaian. Karena itu adalah tidak ada artinya sama sekali ketika Menlu Malaysia mengatakan bahwa pihaknya siap berunding dengan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh klaimnya.
Langkah pertama dalam penciptaan perdamaian menurut Stassen adalah menetapkan keamanan bersama (affirm common security), dengan membangun tatanan yang damai dan adil bagi semua pihak. Penetapan batas wilayah dengan membuat peta secara sepihak, dengan memakai pertimbangan menurut pengertian sepihak, seperti yang dilakukan oleh Malaysia, adalah tindakan yang bisa dianggap kebalikan dari langkah ini. Penetapan batas wilayah seperti itu justru menggoyahkan keamanan bersama, bahkan menciptakan ancaman bagi pihak yang lain. Ketika ancaman sudah terjadi, dialog yang mau diadakan pun akan menjadi lebih sulit untuk dijalankan dengan baik. Ini terlihat dalam pertemuan teknis Malaysia-Indonesia membahas masalah Ambalat yang diadakan di Bali tanggal 22-23 Maret lalu. Pertemuan itu berakhir tanpa hasil apa-apa, karena kedua pihak tetap pada pendirian masing-masing.
Karena dalam kasus ini ancaman sudah terjadi, dan tatanan yang damai dan adil digoyahkan, langkah kedua yang dianjurkan Stassen perlu diperhatikan baik-baik. Itu adalah mengambil inisiatif lebih dulu untuk perdamaian (take independent initiatives). Dalam kasus ini, pihak yang manakah yang mengambil inisiatif lebih dulu untuk menyelesaikan masalah? Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa telah mengupayakan dialog atas klaim Malaysia ini sejak lama, yaitu sejak tahun 1980, tetapi tidak mendapat tanggapan berarti, sampai kasusnya menjadi besar karena diberikannya konsesi kepada Shell oleh Petronas Malaysia.
Pemerintah Malaysia melalui Menlunya mengatakan bahwa justru Indonesialah yang melakukan inisiatif provokatif, dengan membangun mercusuar di atol Karang Unarang yang diklaim Malaysia sebagai wilayahnya, sedangkan Malaysia selalu siap untuk berunding. Hanya pertanyaan yang diajukan pihak Indonesia adalah berunding dengan kondisi seperti apa? Apakah dengan kondisi melakukan pengakuan implisit akan klaim Malaysia lebih dulu (dengan tidak memasuki lagi wilayah yang sudah diklaim Malaysia)? Pemerintah Indonesia bersikukuh dialog dilakukan dengan tetap membangun mercusuar itu, karena itu termasuk wilayahnya. Jalan tengah yang bisa ditawarkan adalah dengan membiarkan wilayah itu menjadi wilayah tak bertuan untuk sementara, sampai ditemukan titik temu melalui dialog. Namun, melihat perkembangan yang ada sekarang. Kelihatannya pilihan status quo itu juga enggan untuk diterima.
Akan tetapi, ada langkah ketiga menurut Stassen, yaitu Talk to your enemy. Bicaralah, lakukan negosiasi/perundingan, cari jalan keluar dengan memakai metode-metode penyelesaian konflik Tentang hal ini, sudah dilakukan satu kali dan belum berhasil. Namun dijanjikan untuk bertemu kembali bulan Mei, dan kita harus menunggu.
Sambil menunggu, langkah keempat mungkin bisa dilakukan. Itu adalah mengutamakan hak asasi manusia dan keadilan. Penyelesaian konflik yang sudah terjadi harus mengingat hal ini. Kampanye-kampanye anti Malaysia dengan semangat berperang seperti membentuk Front Ganyang Malaysia, merekrut sukarelawan yang siap membela tanah air melawan Malaysia, harus ditinggalkan. Perang hanya akan meninggalkan kesengsaraan. Pengalaman konfrontasi berdarah di masa Soekarno seharusnya menjadi pelajaran. Banyak jiwa yang melayang dan perekonomian negara pun morat marit karenanya. Yang harus dikampanyekan adalah bagaimana menyembuhkan luka-luka bersama akibat
memori kolektif tadi itu.
Selain itu, satu hal lain yang harus diperhatikan pemerintah Indonesia adalah meningkatkan perhatiannya terhadap wilayah-wilayah terluar Indonesia. Sudah lama wilayah-wilayah perbatasan seperti di ujung Barat Sumatera, ujung Utara Sulawesi, ujung Selatan Timor, dan ujung Timur Papua, menjadi ‘anak terlantar’. Perhatian melalui pembangunan fasilitas sosial bagi masyarakat di wilayah-wilayah ini sangat penting. Sipadan dan Ligitan ditetapkan sebagai wilayah Malaysia oleh Mahkamah Internasional di tahun 1998 juga karena kedua wilayah itu tidak pernah ‘disentuh’ oleh Indonesia, namun dibangun dan dikelola oleh Malaysia.
Langkah kelima dan keenam, yang menurut kami masih berkaitan erat adalah Memutus lingkaran setan kekerasan, turut serta dalam penciptaan perdamaian dan Mengakhiri propaganda saling menyalahkan, termasuk memberikan kompensasi/ganti rugi kepada yang dirugikan. Langkah-langkah ini sangat penting, dan dalam kasus Malaysia dan Indonesia, menurut saya kedua bangsa harus menoleh bersama ke belakang, sejarah konflik yang pernah terjadi antara kedua bangsa harus diungkapkan, dan kemudian mencari jalan untuk mengakhiri semua kecurigaan satu dengan yang lain .Kedua langkah ini terkait erat dengan teori Shriver, “mengungkapkan untuk mengingat kejahatan yang sudah dilakukan, dan kemudian mengampuni.”
Kemudian langkah yang terakhir adalah bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan konflik ini dengan transparan dan terbuka. Semua upaya untuk pengungkapan masalah dilakukan dengan jujur dan terbuka untuk kedua bangsa. Kami tidak setuju dengan pendapat Menlu Malaysia yang mengatakan bahwa masalah ini hanya masalah teknis sehingga masyarakat Malaysia tidak perlu tahu. Ini hanya urusan dua pemerintahan.
Proses negosiasi, kemajuan-kemajuan dan hambatan-hambatannya harus dibuat terbuka kepada publik, sehingga publik bisa turut berpartisipasi dengan menyumbangkan opininya.









BAB IV
PENUTUP
A.Kesimpulan
Geopolitik diartikan sebagai sistem politik atau peraturan-peraturan dalam wujud kebijaksanaan dan strategi nasional yang didorong oleh aspirasi nasional geografik (kepentingan yang titik beratnya terletak pada pertimbangan geografi, wilayah atau territorial dalam arti luas) suatu Negara, yang apabila dilaksanakan dan berhasil akan berdampak langsung kepada system politik suatu Negara. Sebaliknya, politik Negara itu secara langsung akan berdampak pada geografi Negara yang bersangkutan. Geopolitik bertumpu pada geografi sosial (hukum geografis), mengenai situasi, kondisi, atau konstelasi geografi dan segala sesuatu yang dianggap relevan dengan karakteristik geografi suatu Negara.
Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang saling berdekatan dan menjalin hubungan bilateral yang sudah berlangsung sejak lama. Meski demikian, antara kedua negara ini sering terjadi perselisihan, khususnya mengenai permasalah batas wilayah. Fakta memperlihatkan beberapa pulau yang telah diambil oleh pihak Malaysia dari Indonesia, contohnya seperti Pulau Sipadan dan Ligitan. Dan hingga kini yang menjadi permasalahan terbaru, kedua pihak tersebut sedang memperebutkan satu wilayah yang kaya akan sumber daya minyak. Malaysia mengklaim daerah Ambalat, yang terletak di sebelah timur Pulau Kalimantan Timur tersebut termasuk kedalam kepemilikan wilayahnya. Indonesia yang memiliki bukti kuat atas kepemilikannya, tidak begitu saja menerima pernyataan mentah tersebut. Sehingga hal ini membuat sautu hubungan yang kurang baik di antara dua pihak melalui konflik yang ditimbulkan. Dan parahnya, sampai sekarang belum didapatkan jalan keluar yang dapat menguntungkan kedua belah pihak.
Dari kesimpulan yang dapat kami kemukakan di atas. Kami mengaharapkan agar pemerintah Indonesia dapat lebih tegas dalam menyegerakan permasalahan Ambalat tersebut. Karena hal ini dapat menunjukkan Sistem Geopolitik Indonesia yang kuat kepada seluruh dunia. Supaya mereka tidak dengan mudah meremehkan martabat bangsa Indonesia. Indonesia telah merdeka, maka sepatutnya kita menghapuskan segala praktek yang bertautan dengan asas kemerdekaan yang telah direnggut bangsa Indonesia.
Bagi masyarakat Indonesia sendiri, jangan mudah terpengaruh untuk melakukan aksi kekerasan dan tak beretika demi mengungkapkan aspirasinya terhadap permasalahan yang dimaksud. Kita harus tetap berkepala dingin dalam menyelesaikan berbagai permasalahan, bukankah itu adalah hal yang paling baik untuk tidak menebar kebencian dan kerusakan di muka bumi ini. Untuk itu selesaikanlah kasus ini dengan cara damai mencapai jalan keluar yang saling menguntungkan Indonesia dengan negara serumpunnya, Negeri Jiran Malaysia.
B. Saran
Sebagai poin akhir dalam penulisan makalah ini kami menuangkan beberapa saran yang semoga dapat direnungkan oleh para pembaca. Adapun saran yang kami sampaikan ialah.
1. Sebagai negara yang berasaskan Pancasila, hendaknya para pemimpin kita dapat bertindak bijak dalam mengambil langkah penyelesai masalah bangsa kita ini.
2. Pemerintahan khususnya dan rakyat pada umumnya jangan hanya responsif ketika masalah telah muncul, tetapi haruslah bertindak preventif sebelum timbulnya masalah.
3. Para masyarakat jangan cepat terprovokasi oleh oknum dalam setip timbulnya permasalahan yang terjadi di negara kita sebelum mengetahui secara jelas akar dari permasalahan itu.
4. Pandangan bahwa kasus sengketa ini merupakan konsekuensi dari ketiak becusan pemerintah memandatkan dan memperhatikan pulau-pulau kecil di perbatasan padahal jika pemanfaatan ini di realisasikan pemerintah justru akan menghasilkan penambahan pendapatan untuk negara.
5. Sebagai calon seorang guru yang sedang menuntut ilmu teruslah isi kemerdekaan bangsa yang telah di rebut sesah payah oleh para pahlawan dengan melakukan aktivitas yang positif untuk membuahkan karya yang berguna bagi kemaslahatan umat.




















DAFTAR PUSTAKA


http://kompas.com/kompas-cetak/0412/28/ekonomi/1464300.htm
http://mediaindo.co.id
http://www.esdm.go.id/beritagas.php?news_id=468

ilmu hadits

IImu Hadis
Pengertian beberapa istilah dalam Ulumul Hadist
Secara garis besar ilmu-ilmu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu ilmu hadits riwayat (riwayah) dan ilmu hadits diroyat (diroyah).
Secara garis besar ilmu-ilmu hadis dapat dikaji menjadi dua, yaitu Ilmu hadis riwayat (riwayah) dan ilmu hadis diroyat (diroyah).
Ilmu hadis riwayah ialah ilmu yang membahas perkembangan hadis kepada Sahiburillah, Nabi Muhammad SAW. dari segi kelakuan para perawinya, mengenai kekuatan hapalan dan keadilan mereka dan dari segi keadaan sanad.
Ilmu hadisriwayah ini berkisar pada bagaimana cara-cara penukilan hadis yang dilakukan oleh para ahli hadis, bagaimana cara menyampaikan kepada orang lain dan membukukan hadis dalam suatu kitab. Dari dua pokok asasi ini, terbitlah berbagai-bagai seperti:
A. IImu Rijalil Hadis
llmu Rijalil Hadis ialah:

Artinya:
“Ilmu yang membahas tentang para perawi hadis, baik dari sahabat, tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya .”
Dengan ilmu ini dapatlah kita mengetahui keadaan para perawi menerima hadis dari Rasulullah dan keadaan para perawi yang menerima hadis dari sahabat dan seterusnya. Di dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, mazhab yang dipegang oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu dalam menerima hadis.
Sungguh penting sekali ilmu ini dipelajari dengan seksama, karena hadis itu terdiri dari sanad dan matan. Maka mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad merupakan separuh dari pengetahuan. Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya. Ada yang hanya menerangkan riwayat-riwayat ringkas dari para sahabat saja. Ada yang menerangkan riwayat-riwayat umum para perawi-perawi, Ada yang menerangkan perawi-perawi yang dipercayai saja, Ada yang menerangkan riwayat-riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudallis, atau para pemuat hadis maudu’. Dan ada yang menerangkan sebab-sebab dianggap cacat dan sebab-sebab dipandang adil dengan menyebut kata -kata yang dipakai untuk itu serta martabat perkataan.
Ada yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan berlainan sebutan yang di dalam ilmu hadis disebut Mu’talif dan Mukhtalif. Dan ada yang menerangkan nama-nama perawi yang sama namanya, lain orangnya, Umpamanya Khalil ibnu Ahmad. Nama ini banyak orangnya. lni dinamai Muttafiq dan Muftariq. Dan ada yang menerangkan nama- nama yang serupa tulisan dan sebutan, tetapi berlainan keturunan dalam sebutan, sedang dalam tulisan serupa. Seumpama Muhammad ibnu Aqil dan Muhammad ibnu Uqail. Ini dinamai Musytabah. Dan ada juga yang hanya menyebut tanggal wafat.
Di samping itu ada pula yang hanya menerangkan nama-nama yang terdapat dalam satu-satu kitab saja, atau: beberapa kitab saja. Dalam semua itu para ulama telah berjerih payah menyusun kitab-kitab yang dihajati.
Kitab yang diriwayatkan keadaan para perawi dari golongan sahabat ”
Permulaan ulama yang menyusun kitab riwayat ringkas para sahabat, ialah Al-Bukhari (256 H). Kemudian usaha itu dilaksanakan oleh Muhammad Ibnu Saad, sesudah itu terdapat beberapa ahli lagi, di antaranya, yang penting diterangkan ialah Ibnu Abdil Barr (463 H). Kitabnya bernama AI-Istiab.
Pada permulaan abad ketujuh Hijrah, Izzuddin ibnul Atsir (630 H) mengumpulkan kitab-kitab yang telah disusun sebelum masanya dalam sebuah kitab besar yang dinamai Usdul Gabah. Ibnu Atsir ini adalah saudara dari Majdudin Ibnu Atsir pengarang An-Nihayah fi GaribiI Hadis. Kitab Izzuddin diperbaiki oleh Ai-Dzahabi (747 H) dalam kitab At-Tajrid.
Sesudah itu pada abad kesembilan Hijrah, Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqali menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama AI-Ishabah. Dalam kitab ini dikumpulkan Al-Istiab dengan Usdul Gabah dan ditambah dengan yang tidak terdapat dalam kitab-kitab tersebut. Kitab ini telah diringkaskan oleh As-Sayuti dalam kitab Ainul Ishabah.
Al-Bukhori dan muslim telah, menulis juga kitab yang menerangkan nama-nama sahabi yang hanya meriwayatkan suatu hadis saja yang dinamai Wuzdan.
Kemudian, dalam bab ini Yahya ibnu abdul Wahab ibnu Mandah Al-Asbahani (551 H) menulis sebuah kitab yang menerangkan nama-nama sahabat yang hidup 120 tahun.
B. Ilmul Jarhi Wat Takdil
Ilmu Jarhi Wat Takdir, pada hakekatnya merupakan suatu bagian dari ilmu rijalil hadis. Akan tetapi, karena bagian ini dipandang sebagai yang terpenting maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Yang dimaksud dengan ilmul jarhi wat takdil ialah:

Artinya:
“Ilmu yang menerangkan tentang catatan-catatan yang dihadapkan pada para perawi dan tentang penakdilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu. ”
Mencacat para perawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak terpedaya dengan riwayat-riwayatnya), telah tumbuh sejak zaman sahabat.
Menurut keterangan Ibnu Adi (365 H) dalam Muqaddimah kitab AI-Kamil, para ahli telah menyebutkan keadaan-keadaan para perawi sejak zaman sahabat. Di antara para sahabat yang menyebutkan keadaan perawi-perawi hadis ialah Ibnu Abbas (68 H), Ubadah ibnu Shamit (34 H), dan Anas ibnu Malik (93 H).
Di antara tabi’in ialah Asy Syabi(103 H), Ibnu Sirin (110H), Said Ibnu AI-Musaiyab (94 H). Dalam masa mereka itu, masih sedikit orang yang dipandang cacat. Mulai abad kedua Hijrah baru ditemukan banyak orang-orang yang lemah. Kelemahan itu adakalanya karena meng-irsal-kan hadis, adakalanya karena me- rafa-kan ltadis yang sebenarnya mauquf dan adakalanya karena beberapa kesalahan yang tidak disengaja, seperti Abu Harun AI-Abdari (143 H).
Sesudah berakhir masa tabi’in, yaitu pada kira-kira tahun 150 Hijrah, para ahli mulai menyebutkan keadaan-keadaan perawi, menakdil dan menajrihkan mereka. Di antara ulama besar yang memberikan perhatian pada urusan ini, ialah Yahya. ibnu Said Al-Qattan (189H), Abdur Rachman ibnu Mahdi (198 H)”, sesudah itu, Yazid Ibnu Harun(189 H), Abu Daud At-Tahyalisi (204 H), Abdur Razaq bin Human (211 H).Sesudah itu, barulah para ahli menyusun kitab-kitab jarah dan takdil. Di dalamnya diterangkan keadaan para perawi, yang boleh diterima riwayatnya dan yang ditolak.
Di antara pemuka-pemuka jarah dan takdil ialah Yahya ibnu Main (233 H), Ahmad ibnu Hanbal (241 H), MUhammad ibnu Saad (230 H),Ali Ibnul Madini (234 H), Abu Bakar ibnu Syaibah (235 H), Ishaq ibnu Rahawaih (237 H). Sesudah itu, Ad-Darimi (255 H),Al-Bukhari (256 H), Al-Ajali(261 H), Muslim (251 H), Abu Zurah (264 H), Baqi ibnu Makhlad (276 H), Abu Zurah Ad-Dimasyqi (281 H).
Kemudian pada tiap-tiap masa terdapat ulama-ulama yang memperhatikan keadaan perawi, hingga sampai pada ibnu Hajar Asqalani (852 H).
Kitab-kitab yang disusun mengenai jarah dan taqdil, ada beberapa macam. Ada yang menerangkan orang-orang yang dipercayai saja, ada yang menerangkan orang-orang yang lemah saja, atau orang-orang yang menadlieskan hadis. dan ada pula yang melengkapi semuanya. Di samping itu, ada yang menerangkan perawi-perawi suatu kitab saja atau beberapa kitab dan ada yang melengkapi segala kitab.
Di antara kitab yang melengkapi semua itu ialah: Kitab Tabaqat Muhammad ibnu Saad Az-Zuhri Al-Basari (23Q H). Kitab ini sangat besar. Di dalamnya terdapat nama-nama sahabat nama-nama tabi’in dan orang-orang sesudahnya. Kemudian berusaha pula beberapa ulama besar lain, di antaranya Ali ibnul Madini(234 H), Al-Bukhari, Muslim; Al-Hariwi (301 H) dan ibnu Hatim (327 H). Dan yang sangat berguna bagi ahli hadis dan fiqih ialah At-Takmil susunan Al-Imam ibnu Katsir.
Diantara kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang dapat dipercayai saja ialah Kitab As-Siqat, karangan Al-Ajaly (261 H) dan kitab As-Siqat karangan Abu Hatim ibnu Hibban Al-Busty. Masuk dalam bagian ini adalah kitab-kitab yang menerangkan tingkatan penghapal-penghapal hadis. Banyak pula ulama yang menyusun kitab ini, di antaranya, Az-Zahabi, Ibnu Hajar Al-Asqalani dan As-Sayuti.
Diantara kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang lemah-lemah saja ialah: Kitab Ad-Duafa, karangan Al-Bukhari dan kitab Ad- Duafa karangan ibnul Jauzi (587 H)
C. IImu Illail Hadis
Ilmu Illial Hadis, ialah:

Artinya:
Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencacatkan hadis.
Yakni menyambung yang munqati, merafakan yang mauqu memasukkan satu hadis ke dalam hadis yang lain dan yang serupa itu Semuanya ini, bila diketahui, dapat merusakkan kesahihan hadis.
Ilmu ini merupakan semulia-mulia ilmu yang berpautan dengan hadis, dan sehalus-halusnya. Tak dapat diketahui penyakit-penyakit hadis melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadis.
Di antara para ulama yang menulis ilmu ini, ialah Ibnul Madini (23 H), Ibnu Abi Hatim (327 H), kitab beliau sangat baik dan dinamai Kitab Illial Hadis. Selain itu, ulama yang menulis kitab ini adalah AI-lmam Muslim (261 H), Ad-Daruqutni (357 H) dan Muhammad ibnu Abdillah AI-Hakim.
D. Ilmun nasil wal mansuh
Ilmun nasih wal Mansuh, ialah:

Artinya:
“ilmu yang menerangkan hadis-hadis yang sudah dimansuhkan dan yang menasihkannya. ”
Apabila didapati suatu hadis yang maqbul, tidak ada yang memberikan perlawanan maka hadis tersebut dinamai Muhkam. Namun jika dilawan oleh hadis yang sederajatnya, tetapi dikumpulkan dengan mudah maka hadis itu dinamai Mukhatakiful Hadis. Jika tak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu, dinamai Nasih dan yang terdahulu dinamai Mansuh.
Banyak para ahli yang menyusun kitab-kitab nasih dan mam’uh ini, di antaranya Ahmad ibnu Ishaq Ad-Dillary (318 H), Muhammad ibnu Bahar AI-Asbahani (322 H), Alunad ibnu Muhaminad An-Nah-has (338 H) Dan sesudah itu terdapat beberapa ulama lagi yang menyusunnya, yaitu Muhammad ibnu Musa Al-Hazimi (584 H) menyusun kitabnya, yang dinamai Al-lktibar. Kitab AI-Iktibar itu telah diringkaskan oleh Ibnu Abdil Haq (744 H) .
E. Ilmu Asbabi Wuruddil Hadis, ialah:
Ilmu Asbabi Wuruddil Hadis, ialah:

Artinya:
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi yang menurunkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menurunkan itu.”
Penting diketahui, karena ilmu itu menolong kita dalam memahami hadis, sebagaimana ilmu Ashabin Nuzul menolong kita dalam memahami Al-Quran.
UIama yang mula-mula menyusun kitab ini dan kitabnya ada dalam masyarakat iaIah Abu Hafas ibnu Umar Muhammad ibnu Raja Al-Ukbari, dari murid Ahmad (309 H), Dan kemudian dituliskan pula oleh Ibrahim ibhu Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah Al Husaini (1120 H), dalam kitabnya AI-Bayan Wat Tarif yang telah dicetak pada tahun 1329 H
F. Ilmu Talfiqil Hadis
Ilmu Talfiqil Hadis, ialah:

Artinya: “Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadis-hadis yang isinya berlawanan. ”
Cara mengumpulkannya adakalanya dengan menakhsiskan yang ‘amm, atau menaqyidkan yang mutlak, atau dengan memandang banyaknya yangterjadi.
ilmu ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadis. Di antara para ulama besar yang telah berusaha menyusun, ilmu ini ialah Al-Imamusy Syafii (204 H), Ibnu Qurtaibah (276 H), At-Tahawi (321 H) dan ibnu Jauzi (597 H). Kitabnya bernama At-Tahqiq, kitab ini sudah disyarahkan oleh Al-Ustaz Ahmad Muhammad Syakir dan baik sekali nilainya.
Sumber http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/4/1/pustaka-97.html
Sanad dan Matan Hadist
Posted December 12, 2008 Comments(0)
Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting, karena hadits yang diperoleh/diriwaytkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu periwayatan hadits dapat diketahui mana yang dapat diterima atau ditolak dan mana hadits yang sahih atau tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam.
A. PENGERTIAN SANAD DAN MATAN HADIS
Sanad dari segi bahasa artinya (sandaran, tempat bersandar, yang menjadi sandaran). Sedangkan menurut istilah ahli hadis, sanad yaitu:

(Jalan yang menyampaikan kepada matan hadis). Contoh :

Artinya:
“Dikhabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari Nafi, yang menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah sebagian dari antara kamu membeli barang yang sedang dibeli oleh sebagian yang lainnya. ” (Al-Hadis)
Dalam hadis tersebut dinamakan sanad adalah:

(Dikhabarkan kepada kami oleh Malik yang menerimanya dari nafi yang menerimanya dari Abdullah ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:…)
Matan dari segi bahasa artinya membelah, mengeluarkan, mengikat. Sedangkan menurut istilah ahli hadis, matan yaitu:

(perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya) .

Artinya:
” Dari Muhammad yang diterima dari Abu Salamah yang diterimanya dari Abu Hurairah. bahwa Rasulullah SAW bersabda; “Seandainya tidak memberatkan terhadap umatku, niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak (menggosok gigi) setiap akan melakukan salat. ” (Al-Hadis)
Adapun yang disebut matan dalam hadis tersebut yaitu:

B. KEDUDUKAN SANAD DAN MATAN HADIS
Para ahli hadis sangat hati-hati dalam menerima suatu hadis kecuali apabila mengenal dari siapa mereka menerima setelah benar-benar dapat dipercaya. Pada umumnya riwayat dari golongan sahabat tidak disyaratkan apa-apa untuk diterima periwayatannya. Akan tetapi mereka pun sangat hati-hati dalam menerima hadis .
Pada masa Abu bakar r.a. dan Umar r.a. periwayatan hadis diawasi secara hati-hati dan tidak akan diterima jika tidak disaksikan kebenarannya oleh seorang lain. Ali bin Abu Thalib tidak menerima hadis sebelum yang meriwayatkannya disumpah.
Meminta seorang saksi kepada perawi, bukanlah merupakan keharusan dan hanya merupakan jalan untuk menguatkan hati dalam menerima yang berisikan itu. Jika dirasa tak perlu meminta saksi atau sumpah para perawi, mereka pun menerima periwayatannya.
Adapun meminta seseorang saksi atau menyeluruh perawi untuk bersumpah untuk membenarkan riwayatnya, tidak dipandang sebagai suatu undang-undang umum diterima atau tidaknya periwayatan hadis. Yang diperlukan dalam menerima hadis adalah adanya kepercayaan penuh kepada perawi. Jika sewaktu-waktu ragu tentang riwayatnya, maka perlu didatangkan saksi/keterangan.
Kedudukan sanad dalam hadis sangat penting, karena hadis yang diperoleh/ diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu periwayatan hadis dapat diketahui mana yang dapat diterima atau ditolak dan mana hadis yang sahih atau tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam. Ada beberapa hadis dan atsar yang menerangkan keutamaan sanad, di antaranya yaitu: Diriwayatkan oleh muslim dari Ibnu Sirin, bahwa beliau berkata:

Artinya:
“Ilmu ini (hadis ini), idlah agama, karena itu telitilah orang-orang yang kamu mengambil agamamu dari mereka,” Abdullah lbnu Mubarak berkata:

Artinya:
“Menerangkan sanad hadis, termasuk tugas agama Andaikata tidak diperlukan sanad, tentu siapa saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Antara kami dengan mereka, ialah sanad. Perumpamaan orang yang mencari hukum-hukum agamanya, tanpa memerlukan sanad, adalah seperti orang yang menaiki loteng tanpa tangga.”
Asy-Syafii berkata.

Artinya:
“Perumpamaan orang yang mencari (menerima) hadis tanpa sanad, sama dengan orang yang mengumpulkan kayu api di malam hari. ”
Perhatian terhadap sanad di masa sahabat yaitu dengan menghapal sanad-sanad itu dan mereka mempuyai daya ingat yang luar biasa. Dengan adanya perhatian mereka maka terpelihara sunnah Rasul dari tangan-tangan ahli bid’ah dan para pendusta. Karenanya pula imam- imam hadis berusaha pergi dan melawat ke berbagai kota untuk memperoleh sanad yang terdekat dengan Rasul yang dilakukan sanad ‘aali
Ibn Hazm mengatakan bahwa nukilan orang kepercayaan dari Orang yang dipercaya hingga sampai kepada Nabi SAW. dengan bersambung-sambung perawi-perawinya adalah suatu keistimewaan dari Allah khususnya kepada orang-orang Islam.
Memperhatikan sanad riwayat adalah suatu keistimewaan dari ketentuan-ketentuan umat Islam.
Sumber http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/4/1/pustaka-94.html
Sejarah Pembinaan dan Penghimpunan Hadist
Posted December 12, 2008 Comments(0)
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bi Abdul Azis yakni tahun 99 Hijriyah datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadits, Maka pada tahun 100 H Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkan kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan hadits-hadits Nabi yang terdapat pada para penghafal.
A. PENULISAN HADIS
Para penulis sejarah Rasul, ulama hadis, dan umat Islam semuanya sependapat menetapkan bahwa AI-Quranul Karim memperoleh perhatian yang penuh dari Rasul dan para sahabatnya. Rasul mengharapkan para sahabatnya untuk menghapalkan AI-Quran dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu, seperti keping-keping tulang, pelepah kurma, di batu-batu, dan sebagainya.
Ketika Rasulullah SAW. wafat, Al-Quran telah dihapalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu, ayat-ayat suci AI-Quran seluruhnya telah lengkap ditulis, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk sebuah mushaf. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Quran. Penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak diperintahkan oleh Rasul sebagaimana ia memerintahkan mereka untuk menulis AI-Quran. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadis-hadis Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasulullah SA W.
Diantara sahabat-sahabat Rasulullah yang mempunyai catatan-catatan hadis Rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin AS yang menulis, sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Abdullah itu Mereka beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda.

Artinya:
“Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al- Quran. Dan barang siapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al- Quran, hendaklah dihapuskan. ” (HR. Muslim)
Dan mereka berkata kepadanya, “Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum.” Mendengar ucapan mereka itu, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai hal tersebut. Rasulullah kemudian bersabda:

Artinya:
“Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangannya. tidak keluar dari mulutku. selain kebenaran “.
Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa Ali mempunyai sebuah sahifah dan Anas bin Malik mempunyai sebuah buku catatan. Abu Hurairah menyatakan: “Tidak ada dari seorang sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadis Rasulullah daripadaku, selain Abdullah bin Amr bin As. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya”. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis dinasakh (dimansukh) dengan hadis yang memberi izin yang datang kemudian.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa Rasulullah tidak menghalangi usaha para sahabat menulis hadis secara tidak resmi. Mereka memahami hadis Rasulullah SAW. di atas bahwa larangan Nabi menulis hadis adalah ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukan hadis dengan AI-Quran Sedangkan izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukan hadis dengan Al-Quran. Oleh karena itu, setelah Al-Quran ditulis dengan sempurna dan telah lengkap pula turunannya, maka tidak ada Jarangan untuk menulis hadis. Tegasnya antara dua hadis Rasulullah di atas tidak ada pertentangan manakala kita memahami bahwa larangan itu hanya berlaku untuk orang-orang tertentu yang dikhawatirkan mencampurkan AI-Quran dengan hadis, dan mereka yang mempunyai ingatan/kuat hapalannya. Dan izin menulis hadis diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunah untuk diri sendiri, dan mereka yang tidak kuat ingatan/hapalannya.
B. PENGHAPALAN HADIS
Para sahabat dalam menerima hadis dari Nabi SAW. berpegang pada kekuatan hapalannya, yakni menerimanya dengan jalan hapalan, bukan dengan jalan menulis hadis dalam buku. Sebab itu kebanyakan sahabat menerima hadis melalui mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan Nabi. Kemudian terekamlah lafal dan makna itu dalam sanubari mereka. Mereka dapat melihat langsung apa yang Nabi kerjakan. atau mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari nabi, karena tidak semua dari mereka pada setiap waktu dapat mengikuti atau menghadiri majelis Nabi. Kemudian para sahabat menghapal setiap apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat apa yang pernah Nabi lakukan, untuk selanjutnya disampaikan kepada orang lain secara hapalan pula.
Hanya beberapa orang sahabat saja yang mencatat hadis yang didengarnya dari Nabi SAW. Di antara sahabat yang paling banyak menghapal/meriwayatkan hadis ialah Abu Hurairah. Menurut keterangan Ibnu Jauzi bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sejumlah 5.374 buah hadis. Kemudian para sahabat yang paling banyak hapalannya sesudah Abu Hurairah ialah:
1. Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadis.
2. Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadis.
3. Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadis.
4. Abdullah ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadis.
5. Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadis.
6. Abu Said AI-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadis.
C. PENGHIMPUNAN HADIS
Pada abad pertama hijrah, yakni masa Rasulullah SAW., masa khulafaur Rasyidin dan sebagian besar masa bani umayyah, hingga akhir abad pertama hijrah, hadis-hadis itu berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut ke mulut Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan hapalannya. Memang hapalan mereka terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis yang pernah direkam dalam ingatannya. Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh khalifah Umar bin Khattab (w. 23/H/644 M). Namun ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena beliau khawatir bila umat Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Quran.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama hijrah, yakni tahun 99 hijrah datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadis. Umar bin Abdul Azis seorang khalifah dari Bani Umayyah terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dipandang sebagai khalifah Rasyidin yang kelima.
Beliau sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Maka tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H. Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para penghafal.
Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin Hazm yang berbunyi:

Artinya:
“Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah. karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan. ”
Selain kepada Gubernur Madinah, khalifah juga menulis surat kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri. Kemudian Syihab Az-Zuhri mulai melaksanakan perinea khalifah tersebut. Dan Az-Zuhri itulah yang merupakan salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadis.
Dari Syihab Az-Zuhri ini (15-124 H) kemudian dikembangkan oleh ulama-ulama berikutnya, yang di samping pembukuan hadis sekaligus dilakukan usaha menyeleksi hadis-hadis yang maqbul dan mardud dengan menggunakan metode sanad dan isnad.
Metode sanad dan isnad ialah metode yang digunakan untuk menguji sumber-sumber pembawa berita hadis (perawi) dengan mengetahui keadaan para perawi, riwayat hidupnya, kapan dan di mana ia hidup, kawan semasa, bagaimana daya tangkap dan ingatannya dan sebagainya. Ilmu tersebut dibahas dalam ilmu yang dinamakan ilmu hadis Dirayah, yang kemudian terkenal dengan ilmu Mustalahul hadis.
Setelah generasi Az-Zuhri, kemudian pembukuan hadis dilanjutkan oleh Ibn Juraij (w. 150 H), Ar-Rabi’ bin Shabih (w. 160 H) dan masih banyak lagi ulama-ulama lainnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempuma. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, yaitu pada pertengahan abad II H. dilakukan upaya penyempunaan. Mulai. waktu itu kelihatan gerakan secara aktif untuk membukukan ilmu pengetahuan, termasuk pembukuan dan penulisan hadis-hadis Rasul SAW. Kitab-kitab yang terkenal pada waktu itu yang ada hingga sekarang sampai kepada kita, antara lain AI-Muwatha ‘ oleh imam Malik, AI Musnad oleh Imam Asy-Syafi’l (204) H. Pembukuan hadis itu kemudian dilanjutkan secara lebih teliti oleh Imam-lmam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Turmuzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan lain-lain
Dari mereka itu, kita kenal Kutubus Sittah (kitab-kitab) enam yaitu: Sahih AI-Bukhari Sahih Muslim, Sunan An-Nasai dan At-Turmuzi. Tidak sedikit pada “masa berikutnya dari para ulama yang menaruh perhatian besar kepada Kutubus sittah tersebut beserta kitab Muwatta dengan cara mensyarahinya dan memberi catatan kaki, meringkas atau meneliti sanad dan matan-matannya.
D. TIMBULNYA PEMALSUAN HADIS DAN UPAYA PENYELAMATANNYA
Sejak terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abu Thalib serta Muawiyah yang masing-masing ingin memegang jabatan khalifah, maka umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu syiah. khawarij, dan jumhur. Masing-masing kelompok mengaku berada dalam pihak yang benar dan menuduh pihak lainnya salah. Untuk membela pendirian masing-masing, maka mereka membuat hadis-hadis palsu. Mulai saat itulah timbulnya riwayat-riwayat hadis palsu. Orang-orang yang mula-mula membuat hadis palsu adalah dari golongan Syiah kemudian golongan khawarij dan jumhur, Tempat mula berkembangnya hadis palsu adalah daerah Irak tempat kamu syiah berpusat pada waktu itu.
Pada abad kedua, pemalsuan hadis bertambah luas dengan munculnya propaganda-propaganda politik untuk menumbangkan rezim Bani Umayyah. Sebagai imbangan, muncul pula dari pihak Muawiyyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk membendung arus propaganda yang dilakukan oleh golongan oposisi. Selain itu, muncul juga golongan Zindiq, tukang kisah yang berupaya untuk menarik minat masyarakat agar mendengarkannya dengan membuat kisah-kisah palsu.
Menurut Imam Malik ada empat jenis orang yang hadisnya tidak boleh diambil darinya:
1. Orang yang kurang akal.
2. Orang yang mengikuti hawa nafsunya yang mengajak masyarakat untuk mengikuti hawa nafsunya.
3. Orang yang berdusta dalam pembicaraannya walaupun dia tidak berdusta kepada Rasul.
4. Orang yang tampaknya saleh dan beribadah apabila orang itu tidak mengetahui nilai-nilai hadis yang diriwayatkannya.
Untuk itu, kemudian sebagian ulama mempelajari dan meneliti keadaan perawi-perawi hadis yang dalam masa itu banyak terdapat perawi-perawi hadis yang lemah Diantara perawi-perawi tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui mana yang benar-benar dapat diterima periwayatannya dan mana yang tidak dapat diterima.
Selain itu juga diusahakan pemberantasan terhadap hadis-hadis palsu oleh para ulama, yaitu dengan cara menunjukan nama-nama dari oknum-oknum/ golongan-golongan yang memalsukan hais berikut hadis-hadis yang dibuatnya supaya umat islam tidak terpengaruh dan tersesat oleh perbuatan mereka. Untuk itu, para ulama menyusun kitab-kitab yang secara khusus menerangkan hadis-hadis palsu tersebut, yaitu antara lain :
1. Kitab oleh Muhammad bin Thahir Ak-Maqdizi(w. tahun 507 H)
2. Kitab oleh Al-Hasan bin Ibrahim Al-Hamdani
3. Kitab oleh Ibnul Jauzi (w. tahun 597 H)
Di samping itu para ulama hadis membuat kaidah-kaidah atau patokan-patokan serta menetapkan ciri-ciri kongkret yang dapat menunjukkan bahwa suatu hadis itu palsu. Ciri-ciri yang menunjukkan bahwa hadis itu palsu antara lain:
1. Susunan hadis itu baik lafaz maupun maknanya janggal, sehingga tidak pantas rasanya disabdakan oleh Nabi SAW., seperti hadis: Artinya:
“Janganlah engkau memaki ayam jantan, karena dia teman karibku. ”
2. Isi maksud hadis tersebut bertentangan dengan akal, seperti hadis:
Artinya:
“Buah terong itu menyembuhkan. Segala macam penyakit. ”
3. Isi/maksud itu bertentangan dengan nas Al-Quran dan atau hadis mutawatir, seperti hadis:
Artinya:
“Anak zina itu tidak akan masuk surga. ”
4. Hadis tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT. :
Artinya:
“Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. ” (QS. Fatir: 18)
Sumber http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/4/1/pustaka-93.html
Takhrijul Hadist
Posted December 12, 2008 Comments(1)
Salah satu manfaat dari takhriijul hadits adalah memberikan informasi bahwa suatu hadits sahih, hasan, ataupun daif, setelah diadakan penelitian dari segi matan maupun sanadnya.
A. PENGERTIAN
Kata Takhij adalah bentuk masdar dari fill madi yang secara bahasa berarti mengeluakan sesuatu dari tempat.
Pengertian takhrij menurut ahli hadis memiliki tiga (3) macam pengertian, yaitu:
1. Usaha mencari sanad hadis yang terdapat dalam kitab hadis karya orang lain, yang tidak sama dengan sanad yang terdapat dalam kitab tersebut. Usaha semacam ini dinamakan juga istikhraj. Misalnya seseorang mengambil sebuah hadis dari kitab Jamius Sahih Muslim. kemudian ia mencari sanad hadis tersebut yang berbeda dengan sanad yang telah ditetapkan oleh lmam Muslim.
2. Suatu keterangan bahwa hadis yang dinukilkan ke dalam kitab susunannya itu terdapat dalam kitab lain yang telah disebutkan nama penyusunnya. Misalnya, penyusun hadis mengakhiri penulisan hadisnya dengan kata-kata: “Akhrajahul Bukhari”, artinya bahwa hadis yang dinukil itu terdapat kitab Jamius Sahih Bukhari. Bila ia mengakhirinya dengan kata Akhrajahul Muslim berarti hadis tersebut terdapat dalam kitab Sahih Muslim.
3. Suatu usaha mencari derajat, sanad, dan rawi hadis yang tidak diterangkan oleh penyusun atau pengarang suatu kitab.
Misalnya:
1. Takhrij Ahadisil Kasysyaaf, karyanya Jamaluddin Al-Hanafi adalah suatu kitab yang mengusahakan dan menerangkan derajat hadis yang terdapat dalam kitab Tafsir AI-Kasysyaaf yang oleh pengarangya tidak diterangkan derajat hadisnya, apakah sahih, hasan, atau lainnya.
2. Al Mugny AnHamlil Asfal, karya Abdurrahim Al-Iraqy, adalah kitab yang menjelaskan derajat-derajat hadis yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali.
B. MANFAAT TAKHRIJUL HADIS
Ada beberapa manfaat dari takhrijul hadis antara lain sebagai berikut:
1. Memberikan informasi bahwa suatu hadis termasuk hadis sahih, hasan, ataupun daif, setelah diadakan penelitian dari segi matan maupun sanadnya;
2. Memberikan kemudahan bagi orang yang mau mengamalkan setelah tahu bahwa suatu hadis adalah hadis makbul (dapat diterima). Dan sebaliknya tidak mengamalkannya apabila diketahui bahwa suatu hadis adalah mardud (tertolak).
3. Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadis adalah benar-benar berasal dari Rasulullah SA W. yang harus kita ikuti karena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadis tersebut, baik dan segi sanad maupun matan.
C. KITAB-KITAB YANG DIPERLUKAN
Ada beberapa kitab yang diperlukan untuk melakukan takhrij hadis. Adapun kitab-kitab tersebut antara lain:
1. Hidayatul bari ila tartibi ahadisil Bukhari

Penyusun kitab ini adalah Abdur Rahman Ambar AI-Misri At-Tahtawi. Kitab ini disusun khusus untuk mencari hadis-hadis yang termuat dalam Sahih AI-Bukhari. Lafal-lafal hadis disusun menurut aturan urutan huruf abjad Arab. Namun hadis-hadis yang dikemukakan secara berulang dalam Sahih Bukhari tidak dimuat secara berulang dalam kamus di atas. Dengan demikian perbedaan lafal dalam matan hadis riwayat AI-Bukhari tidak dapat diketahui lewat kamus tersebut.
2. Mu jam Al-Fazi wala siyyama al-garibu minha atau fihris litartibi ahadisi sahihi Muslim

Kitab tersebut merupakan salah satu juz, yakni juz ke- V dari Kitab Sahih Muslim yang disunting oleh Muhammad Abdul Baqi. Jus V ini merupakan kamus terhadap Jus ke-I -IV yang berisi:
1. Daftar urutan judul kitab serta nomor hadis dan juz yang memuatnya.
2. Daftar nama para sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis yang termuat dalam Sahih Muslim.
3. Daftar awal matan hadis dalam bentuk sabda yang tersusun menurut abjad serta diterangkan nomor-nomor hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, bila kebetulan hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Bukhari.

3. Miftahus Sahihain
Kitab ini disusun oleh Muhammad Syarif bin Mustafa Al-Tauqiah. Kitab ini dapat digunakan untuk mencari hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Muslim. Akan tetapi hadis-hadis yang dimuat dalam kitab ini hanyalah hadis-hadis yang berupa sabda (qauliyah) saja. Hadis tersebut disusun menurut abjad dari awal lafal hadis lafal matan hadis.
4. AI-Bugyatu fi tartibi ahadasi al-hilyah

Kitab ini disusun oleh Sayyid Abdul Aziz bin Al-Sayyid Muhammad bin Sayyid Siddiq AI-Qammari. Kitab hadis tersebut memuat dan menerangkan hadis-hadis yang tercantum dalam kitab yang disusun Abu Nuaim AI-Asabuni (w. 430 H) yang berjudul: Hilyatul auliyai wababaqatul asfiyai. Sejenis dengan kitab tersebut di atas adalah kitab Miftahut tartibi li ahadisi tarikhil khatib

yang disusun oleh Sayyid Ahmad bin Sayyid Muhammad bin Sayyid As-Siddiq AI-Qammari yang memuat dan menerangkan hadis-hadis yang tercantum dalam kitab sejarah yang disusun oleh Abu Bakar bin Ali bin Subit bin Ahmad AI-Bagdadi yang dikenal dengan AI-Khatib Al- Bagdadi ( w. 463 H). Susunan kitabnya diberi judul Tarikhu Bagdadi yang terdiri atas 4 jilid
5. Al-Jamius Sagir

Kitab ini disusun oleh Imam Jalaludin Abdurrahman As-Suyuti (w.91h). Kitab kamus hadis tersebut memuat hadis-hadis yang terhimpun dalam kitab himpunan kutipan hadis yang disusun oleh As-suyuti juga, yakni kitab Jam ‘ul Jawani.

Hadis yang dimuat dalam kitab Jamius Sugir disusun berdasarkan urutan abjad dari awal lafal matan hadis. Sebagian dari hadis-hadis itu ada yang ditulis secara lengkap dan ada pula yang ditulis sebagian-sebagian saja, namun telah mengandung pengertian yang cukup.
Kitab hadis tersebut juga menerangkan nama-nama sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis yang bersangkutan dan nama-nama Mukharijnya (periwayat hadis yang menghimpun hadis dalam kitabnya). Selain itu, hampir setiap hadis yang dikutip dijelaskan kualitasnya menurut penilaian yang dilakukan atau disetujui oleh As-suyuti.
6. AI-Mujam al-mufahras li alfazil hadis nabawi

Penyusun kitab ini adalah sebuah tim dari kalangan orientalis. Di antara anggota tim yang paling aktif dalam kegiatan proses penyusunan ialah Dr. Arnold John Wensinck (w.j 939 m), seorang profesor bahasa-bahasa Semit, termasuk bahasa Arab di Universitas Leiden, negeri Belanda.
Kitab ini dimaksudkan untuk mencari hadis berdasarkan petunjuk lafal matan hadis. Berbagai lafal yang disajikan tidak dibatasi hanya lafal-lafal yang berada di tengah dan bagian-bagian lain dari matan hadis. Dengan demikian, kitab Mu’jam mampu memberikan informasi kepada pencari matan dan sanad hadis, asal saja sebagian dari lafal matan yang dicarinya itu telah diketahuinya.
Kitab Mu’jam ini terdiri dari tujuh Juz dan dapat digunakan untuk mencari hadis-hadis yang terdapat dalam sembilan kitab hadis, yakni: Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Turmuzi, Sunan Nasai, Sunan Ibnu Majjah, Sunan Daromi, Muwatta Malik, dan Musnad Ahmad.
D. CARA MELAKSANAKAN TAKHRIJUL HADIS
Secara garis besar menakhrij hadis (takhyijul hadis) dapat dibagi menjadi dua cara dengan menggunakan kitab-kitab sebagaimana telah disebutkan di atas. Adapun dua macam cara takhrijul hadis yaitu:
1. Menakhrij hadis telah diketahui awal matannya, maka hadis tersebut dapat dicari atau ditelusuri dalam kitab-kitab kamus hadis dengan dicarikan huruf awal yang sesuai diurutkan dengan abjad.
Contohnya hadis Nabi:

Untuk mengetahui lafal lengkap dari penggalan matan tersebut, langkah yang harus dilakukan adalah menelusuri penggalan matan itu pada urutan awal matan yang memuat penggalan matan yang dimaksud. Ternyata halaman yang ditunjuk memuat penggalan lafal tersebut adalah halaman 2014. Berarti, lafal yang dicari berada pada halaman 20 14 juz IV. Setelah diperiksa, maka diketahuilah bahwa bunyi lengkap matan hadis yang dicari adalah:

Artinya:
“(Hadis) riwayat Abu Hurairah bahwa Rasullulah bersabda, “(Ukuran) orang yang kuat (perkasa) itu bukanlah dari kekuatan orang itu dalam berkelahi, tetapi yang disebut sebagai orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya tatkala dia marah.”
Apabila hadis tersebut dikutip dalam karya tulis ilmiah, maka sesudah lafal matan dan nama sahabat periwayat hadis yang bersangkutan ditulis, nama Imam Muslim disertakan. Biasanya kalimat yang dipakai adalah

Nama sahabat periwayat hadis dalam contoh di atas adalah Abu Hurairah, dapat pula ditulis sesudah nama Muslim dan tidak ditulis di awal matan. kalimat yang dipakai berbunyi :

Dalam kitab Sahih Muslim dicantumkan di catatan kaki sebagaimana lazimnya.
Kamus yang disusun oleh Muhamad Fuad Abdul Baqi tersebut tidak mengemukakan lafal hadis Nabi yang dalam bentuk selain sabda. bahkan hadis yang berupa sabda pun tidak disebutkan seluruhnya. Contoh:

Lafal hadis tersebut tidak termuat dalam kamus, padahal Sahih Muslim memuatnya dalam juz III halaman 1359, nomor urut hadis 1734. Hadis yang dimuat dalam kamus adalah hadis yang semakna yang terdapat dalam juz dan halaman yang sama dengan nomor urut hadis 1733, lafalnya berbunyi:

2. Menakhrij hadis dengan berdasarkan topik permasalahan (takhrijul hadis bit Mundu’i)
Upaya mencari hadis terkadang tidak didasarkan pada lafal matan (materi) hadis, tetapi didasarkan pada topik masalah. Pencarian matan hadis berdasarkan topik masalah sangat menolong pengkaji hadis yang ingin memahami petunjuk-petunjuk hadis dalam segala konteksnya.
Pencarian matan hadis berdasarkan topik masalah tertentu itu dapat ditempuh dengan cara membaca berbagai kitab himpunan kutipan
hadis, namun berbagai kitab itu biasanya tidak menunjukkan teks hadis menurut para periwayatnya masing-masing. Padahal untuk memahami topik tertentu tentang petunjuk hadis, diperlukan pengkajian terhadap teks-teks hadis menurut periwayatnya masing-masing. Dengan bantuan kamus hadis tertentu, pengkajian teks dan konteks hadis menurut riwayat dari berbagai periwayat akan mudah dilakukan. Salah satu kamus hadis itu ialah:

(Untuk empat belas kitab hadis dan kitab tarikh Nabi).
Kitab tersebut merupakan kamus hadis yang disusun berdasarkan topik masalah. Pengarang asli kamus hadis tersebut adalah Dr. A.J. Wensinck (Wafat 1939 M), seorang orientalis yang besar jasanya dalam dunia perkamusan hadis. Sebagaimana telah dibahas dalam uraian terdahulu, Dr. A.J. Wensinck adalah juga penyusun utama kitab kamus hadis:

Bahasa asli dari kitab Miftah Kunuzis-Sunnah adalah bahasa Inggris dengan judul a Handbook of Early Muhammadan. Kamus hadis yang berbahasa Inggris tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sebagaimana tercantum di atas oleh Muhamad Fuad Abdul-Baqi. Muhamad Fuad tidak hanya menerjemahkan saja, tetapi juga mengoreksi berbagai data yang salah.
Naskah yang berbahasa inggris diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1927 dan terjemahannya pada tahun 1934.
Dalam kamus hadis tersebut dikemukakan berbagai topik, baik. yang berkenaan dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan petunjuk Nabi maupun yang berkenaan dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan nama. Untuk setiap topik biasanya disertakan beberapa subtopik, dan untuk setiap subtopik dikemukakan data hadis dan kitab yang menjelaskannya. Berarti, lafal yang dicari berada pada halaman 2014 juz IV. Setelah diperiksa, maka diketahuilah bahwa bunyi lengkap matan hadis yang dicari adalah:

Artinya:
“(Hadis) riwayat Abu Hurairah bahwa Rasullulah SAW bersabda, “(Ukuran) orang yang kuat (perkasa) itu bukanlah dari kekuatan orang itu dalam berkelahi, tetapi yang disebut sebagai orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya tatkala dia marah.”
Jika hadis tersebut dikutip dalam karya tulis ilmiah, maka sesudah ditulis lafal matan dan nama sahabat periwayat hadis yang bersangkutan, disertakan nama Imam Muslim. Biasanya kalimat yang dipakai adalah:
Nama sahabat periwayat hadis, dalam contoh di atas adalah Abu Hurairah, dapat pula ditulis sesudah nama Muslim dan tidak ditulis di awal matan.
Dalam hal ini, kalimat yang dipakai dapat berbunyi:

Dalam kitab Sahih Muslim dicantumkan di catatan kaki sebagaimana lazimnya. Kamus yang disusun oleh Muhammad Fuad Abdul-Baqi tersebut tidak mengemukakan lafal hadis Nabi yang dalam bentuk selain sabda. Bahkan hadis yang berupa sabda pun tidak seluruhnya dimuat. Salah satu contohnya ialah lafal hadis yang berbunyi:

Lafal hadis tersebut tidak termuat dalam kamus, padahal Sahih Muslim memuatnya dijuz III halaman 1359, nomor urut hadis: 1734. Lafal yang dimuat dalam kamus adalah hadis yang semakna yang terdapat dalam juz dan halaman yang sama, dengan nomor urut hadis 1733. Lafal itu berbunyi:

Penggalan hadis nomor 1631 merupakan contoh juga dari matan hadis yang tidak termuat dalam kamus itu.
Kitab-kitab yang menjadi rujukan kamus tidak hanya kitab-kitab hadis saja, tetapi juga kitab-kitab sejarah (tarikh) Nabi. Jumlah kitab rujukan itu ada empat belas kitab, yakni:

Dalam kamus, llama dan beberapa hal yang berhubungan dengan kitab-kitab tersebut dikemukakan dalam bentuk lambang. Contoh berbagai lambang yang dipakai dalam kamus hadis Miftah Kunuzis-Sunnah, yaitu:
=j us pertama (awal)
= bab
= sahih al-bukhari
= Sunan Abi Daud
= Sunan At-Turmuzi
= Juz ketiga
= juz kedua
= Juz
= Hadis
= Musnad Ahmad
= juz kelima
= juz keempat
= Musnad Zald bin Ali
= juz keenam
= halaman (Sathah)
= Musnad Abi Daud At-Thayalisi
= Tabaqat Ibni Saad
= Bagian Kitab (Qismul-kitab)
= Konfirmasikan data yang sebelumnya dengan data yang sesudahnya
= Magazi AI-Waqidi
= Kitab ( dalam arti bagian)
= Muatta’ Malik
= Sunan Ibni Majah
= Sahih Muslim
= Hadis terulang beberapa kali
= Sunan Ad-Darimi
= Sunan An-Nasai
= Sirah Ibni Hisyam
Angka kecil yang berada di sebelah kiri bagian atas dari angka Yang umum = hadis yang bersangkutan termuat sebanyak angka kecil itu pada halaman atau bab yang angkanya disertai dengan angka kecil tersebut.
Setiap halaman kamus terbagi dalam tiga kolom. Setiap kolom memuat topik; Setiap topik biasanya mengandung beberapa subtopik; dan pada setiap subtopik dikemukakan data kitab yang memuat hadis yang bersangkutan. Cara penggunaannya seperti berbagai hadis yang dicari adalah yang memberi petunjuk tentang pemenuhan nazar: Dengan demikian, topik Yang dicari dalam kamus adalah topik tentang nazar.
Dalam kamus (Miftah Kunuzis-Sunnah) terbitan Lahore (pakistan), topik nazar termuat di halaman 497, kolom ketiga. Topik tersebut mengandung empat belas subtopik. Subtopik Yang dicari berada pada urutan kedua belas, di halaman 498, kolom ketiga. Data Yang tercantum dalam subtopik tersebut adalah sebagai berikut :

Dengan memahami kembali maksud lambang-lambang yang telah dikemukakan dalam uraian sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa maksud data di atas ialah:
1. Sunan Abu Daud, nomor urut kitab (bagian): 21; nomor urut bab: 22.
2. Sunan lbnu Majah, nomor urut kitab (bagian): 11;nomor utut bab: 18.
3. Sunan Ad-Darimi, nomor urut kitab (bagian): 14; nomor urut bab: 1.
4. Muatta ‘ Malik, nomor urut kitab (bagian): 22 nomor urut bab: 3.
5. Musnad Ahmad, juz ll, halaman 159; juz lII, halaman 419; dan juz VI, halaman 266 ( dalam halaman itu, hadis dimaksud dimuat dua kali) .
Setelah data diperoleh, maka hadis yang dicari, yakni dalam hal ini hadis yang membahas pemenuhan nazar diperiksa pada kelima kitab hadis di atas. Judul-judul kitab (dalam arti bagian) yang ditunjuk dalam data di atas dapat diperiksa pada daftar nama kitab (dalam arti bagian) yang termuat pada Bab IV tulisan ini untuk masing-masing kitab hadis yang bersangkutan.
Apabila yang dicari, misalnya berbagai hadis Nabi tentang tata cara salat malam yang dilakukan Nabi pada bulan Ramadan, maka topik yang dicari dalam kamus adalah topik Ramadan. Topik tersebut ada di halaman 211, kolom ketiga. Subtopik untuk Ramadan ada dua puluh satu macam. Subtopik yang dicari berada pada urutan subtopik keenam dan terletak di halaman 212, kolom kedua (tengah). Data yang dikemukakan adalah :

Dengan memeriksa lambing-lambang yang telah dikemukanan dalam pembahasan terlebih dahulu, maka data tersebut dapat dipahami maksudnya. Sesudah itu lalu diperiksa hadis-hadis yang termuat dalam keenam kitab hadis tersebut, yakni dalam Sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan At-Turmuzi, Sunan Abu Daud, Sunan An-Nasai dan Musnad Ahmad.
Sekiranya topik yang dikaji berkaitan dengan nama orang, misalnya Abu Jahal, maka nama tersebut ditelusuri dalam kamus. Nama Abu Jahal ternyata terletak di halaman l5 kolom kedua, subtopiknya ada empat macam. Data untuk subtopik yang pertama, misalnya berbunyi sebagai berikut

(Keburukan tingkah laku Abu Jahal terhadap Nabi SAW.

Dengan demikian untuk mengetahui keburukan tingkah laku AbuJahal kepada Nabi Muhamad, dapat diperiksa hadis-hadis yang termuat
dalam:
1. Sahih Muslim, nomor urut kitab (bagian): 50; pada nomor urut hadis: 28
2. Musnad Ahmad, juz II, halaman 370. Data tersebut agar dikonfirmasikan dengan data yang dikemukakan sebelumnya dan sesudahnya.
3. Sirah Ibnu Hisyam, halaman 184.
Untuk memperlancar pencarian hadis berdasarkan topik tersebut, perlu dilakukan praktek pencarian hadis berdasarkan data yang dikemukakan oleh kamus. Perlu ditegaskan bahwa berbagai hadis yang ditunjuk oleh kamus belum dijelaskan kualitasnya. Untuk mengetahui kualitasnya diperlukan penelitian tersendiri.
Sumber http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/4/1/pustaka-90.html
Pembagian Hadits Secara Umum
Posted December 12, 2008 Comments(0)
Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah hadits yang dapat diyakini kebenarannya. Untuk mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah karena hadits yang ada sangatlah banyak dan sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan.
A. DARI SEGI JUMLAH PERIWAYATNYA
Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
1. Hadits Mutawatir
a. Ta’rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah:

“Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”

Artinya:
“Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.
b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b. Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:

“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
c. Faedah Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).
d. Pembagian Hadits Mutawatir
Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
1. Hadits Mutawatir Lafzi
Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :

“Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya.”
Pengertian lain hadits mutawatir lafzi adalah :

“Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi.”
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :

“Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.”
Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut :


Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
2. Hadits mutawatir maknawi
Hadits mutawatir maknawi adalah :

Artinya :
“Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum.”


Artinya:
“Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz.”

Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.
Contoh :

Artinya :
“Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim)

Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :

Artinya :
“Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”

3. Hadis Mutawatir Amali
Hadis Mutawatir Amali adalah :

Artinya :
“Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu.”

Contoh :
Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya demikian.
Di samping pembagian hadis mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadis mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.
2. Hadis Ahad
a. Pengertian hadis ahad
Menurut Istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara laian adalah:

Artinya:
“Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir: ”
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:

Artinya:
“Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir.”
b. Faedah hadis ahad
Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat’i, sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadis tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadis mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa “Apakah hadis tersebut maqbul atau mardud”. Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadis itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.
Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.
Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadis, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.
B. DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIS
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu hadis. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.
Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.

Artinya :
“Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan.”
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang.
Kata-kata (dari sejumlah rawi yng semisal dan seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan hadis ahad yang pada sebagian tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir.
Contoh hadis :

Artinya :
“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya.”

Awal hadis tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadis yang demikian bukan termsuk hadis mutawatir.
Kata-kata (dan sandaran mereka adalah pancaindera) seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para sahabat menyatakan; “kami melihat Nabi SAW berbuat begini”. Dengan demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah akal bukan berita.
Bila dua hadis memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadis yang matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari hadis yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran. Tingkatan{martabat) hadis ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya hadis berasal dari Rasulullah.
Hadis yang tinggi tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf dugaan tentang benarnya hadis itu berasal Rasulullah SAW. Hadis yang rendah tingkatannya berarti hadis yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadis sebagai sumber hukum atau sumber Islam.
Para ulama membagi hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadis sahih, hadis hasan, dan hadis daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembagian hadis-hadis tersebut menjadi hadis sahih, hasan, dan daif.
1. Hadis Sahih
Hadis sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yng benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadis sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :

Artinya :
“Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit.”

Keterangan lebih luas mengenai hadis sahih diuraikan pada bab tersendiri.
2. Hadis Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :

Artinya :
“yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan.”

3. Hadis Daif
Hadis daif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadis daif :

Artinya :
“Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan.”

Jadi hadis daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadis hasan. Pada hadis daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
C. DARI SEGI KEDUDUKAN DALAM HUJJAH
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadis perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan pemhahasan yang seksama khususnya hadis ahad, karena hadis tersebut tidak mencapai derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadis mutawatir yang memfaedahkan ilmu darury, yaitu suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, hadis ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.
a. Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah:

Artinya:
“Hadis yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya.”

Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk dalam kategori hadis maqbul adalah:
* Hadis sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.
* Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.
Kedua macam hadis tersebut di atas adalah hadis-hadis maqbul yang wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn yangjugaditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Adapun hadis maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan)disebut dengan hadis nasikh, sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis mansukh. Disamping itu, terdapat pula hadis-hadis maqbul yang maknanya berlawanan antara satu dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadis yang kuat disebut dengan hadis rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadis marjuh.
Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadis maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni hadis maqbulun bihi dan hadis gairu ma’mulin bihi.
1. Hadis maqmulun bihi
Hadis maqmulun bihi adalah hadis yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadis ini ialah:
a. Hadis muhkam, yaitu hadis yang tidak mempunyai perlawanan
b. Hadis mukhtalif, yaitu dua hadis yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin dikompromikan dengan mudah
c. Hadis nasih
d. Hadis rajih.
2. Hadis gairo makmulinbihi
Hadis gairu makmulinbihi ialah hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadis-hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:
a. Hadis mutawaqaf, yaitu hadis muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkan
b. Hadis mansuh
c. Hadis marjuh.
B. Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf Muhaddisin, hadis mardud ialah :

Artinya:
“Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan.”

Ada juga yang menarifkan hadis mardud adalah:

Artinya:
“Hadis yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadis Maqbun.”

Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima hadis-hadis maqbul, maka sebaliknya setiap hadis yang mardud tidak boleh diterima dan tidak boleh diamalkan (harus ditolak).
Jadi, hadis mardud adalah semua hadis yang telah dihukumi daif.
D. DARI SEGI PERKEMBANGAN SANADNYA
1. Hadis Muttasil
Hadis muttasil disebutjuga Hadis Mausul.

Artinya:
“Hadis muttasil adalah hadis yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadis marfu’ maupun hadis mauquf.”

Kata-kata “hadis yang didengar olehnya” mencakup pula hadis-hadis yang diriwayatkan melalui cara lain yang telah diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah, Al-Sahihah. Dalam definisi di atas digunakan kata-kata “yang didengar” karena cara penerimaan demikian ialah cara periwayatan yang paling banyak ditempuh. Mereka menjelaskan, sehubungan dengan hadis Mu ‘an ‘an, bahwa para ulama Mutaakhirin menggunakan kata ‘an dalam menyampaikan hadis yang diterima melalui Al-Ijasah dan yang demikian tidaklah menafikan hadis yang bersangkutan dari batas Hadis Muttasil.
Contoh Hadis Muttasil Marfu’ adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik; dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: “Orang yang tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana kepada keluarga dan hartanya”

Contoh hadis mutasil maukuf adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ bahwa ia mendengar Abdullah bin Umar berkata:

Artinya:
“Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali keharusan membayarnya.”

Masing-masing hadis di atas adalah muttasil atau mausul, karena masing-masing rawinya mendengarnya dari periwayat di atasnya, dari awal sampai akhir.
Adapun hadis Maqtu yakni hadis yang disandarkan kepada tabi’in, bila sanadnya bersambung. Tidak diperselisihkan bahwa hadis maqtu termasuk jenis Hadis muttasil; tetapi jumhur mudaddisin berkata, “Hadis maqtu tidak dapat disebut hadis mausul atau muttasil secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang membedakannya dengan Hadis mausul sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya dikatakan “Hadis ini bersambung sampai kepada Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya “. Sebagian ulama membolehkan penyebutan hadis maqtu sebagai hadis mausul atau muttasil secara mutlak tanpa batasan, diikutkan kepada kedua hadis mausul di atas. Seakan-akan pendapat yang dikemukakan jumhur, yaitu hadis yang berpangkal pada tabi’in dinamai hadis maqtu. Secara etimologis hadis maqtu’ adalah lawan Hadis mausul. Oleh karena itu, mereka membedakannya dengan menyadarkannya kepada tabi’in.
2. Hadis Munqati’
Kata Al-Inqita’ (terputus) berasal dari kata Al-Qat (pemotongan) yang menurut bahasa berarti memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqita’ merupakan akibatnya, yakni terputus. Kata inqita’ adalah lawan kata ittisal (bersambung) dan Al-Wasl. Yang dimaksud di sini adalah gugurnya sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami istilah ini dengan perbedaan yang tajam. Menurut kami, hal ini dikarenakan berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari masa ulama mutaqaddimin sampai masa ulama mutaakhirin.
Definisi Munqati’ yang paling utama adalah definisi yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, yakni:

Artinya:
“Hadis Munqati adalah setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain.”

Hadis yang tidak bersambung sanadnya adalah hadis yang pada sanadnya gugur seorang atau beberapa orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu, penyusun Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan:

Artinya:
Setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk Hadis Munqati’ (terputus) persambungannya.”

Demikianlah para ulama Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadis, An-Nawawi berkata, “Klasifikasi tersebut adalah sahih dan dipilih oleh para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr, dan Muhaddis lainnya”. Dengan demikian, hadis munqati’ merupakan suatu judul yang umum yangmencakup segala macam hadis yang terputus sanadnya.
Adapun ahli hadis Mutaakhirin menjadikan istilah tersebut sebagai berikut:

Artinya:
“Hadis Munqati adalah hadis yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad.”

Definisi ini menjadikan hadis munqati’ berbeda dengan hadis-hadis yang terputus sanadnya yang lain. Dengan ketentuan “Salah seorang rawinya” defnisi ini tidak mencakup hadis mu’dal; dengan kata-kata, “Sebelum sahabat” definisi ini tidak mencakup hadis mursal; dan dengan penjelasan kata-kata “Tidak pada awal sanad” definisi ini tidak mencakup hadis muallaq.
Sumber http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/4/1/pustaka-99.html
Beberapa Keistimewaan Mushhaf Abu Bakar ash-Shiddiq
Posted December 12, 2008 Comments(0)
Keunggulan yang dimilki oleh mushhaf Abu Bakar ash-Shiddiq Lembaran-lembaran yang dikumpulkan dalam satu mushhaf pada masa Abu Bakar memiliki beberapa keistimewaan yang terpenting:
(1) Diperoleh dari hasil penelitian yang sangat mendetail dan kemantapan yang sempurna.
(2) Yang tercatat dalam mushhaf banyalah bacaan yang pasti, tidak ada nasakh bacaannya.
(3) Ijma’ ummat terhadap mushhaf tersebut secara mutawatir bahwa yang tercatat adalah ayat-ayat Al-Qur’an.
(4) Mushhaf mencakup qira’at sab’ah yang dinukil berdasarkan riwayat yang benar-benar shahih.
Keistimewaan-keistimewaan tersebut membuat para sahabat kagum dan terpesona terhadap usaha Abu Bakar, dimana ia memelihara Al-Qur’an dari bahaya kemusnahan, dan itu berkat taufiq serta hidayah dari Allah Azza wa Jalla. Ali berkata: “Orang yang paling berjasa dalam hal Al-Qur’an ialah Abu Bakar r.a. ia adalah orang yang pertama mengumpulkan Al-Qur’an/Kitabullah.
Pengumpulan Al-Qur’an adalah perbuatan yang mulia lagi abadi. Sejarah senantiasa akan mengenangnya dengan keindahan dan pujian yang harum terhadap Abu Bakar karena pengarahan dan pengawasannya, dan kepada Zaid bin Tsabit karena pelaksanaan dan usahanya.
Pengumpulan Al-Qur’an dalam bentuk satu mushhaf pada masa Abu Bakar tidaklah dimaksudkan bahwa para sahabat sebelumnya samasekali tidak ada yang memiliki lembaran-lembaran kertas yang bertuliskan Al-Qur’an. Tidaklah menyatakan bahwa di kalangan sahabat tidak ada yang memiliki mushhaf tertentu, hanya saja mushhaf-mushhaf yang ada pada mereka itu tidak diteliti secara seksama sebagaimana halnya mushhaf Abu Bakar yang begitu benar-benar dalam penelitiannya, yang tertulis hanyalah yang tidak dinasakh bacaannya, kepopulerannya sampai mutawatir (menurut semua orang). Semua orang sependapat untuk menerimanya, lagi pula mencakup bacaan menurut qira’at sab’ah sebagaimana telah dikemukakan terdahulu.
Ali secara pribadi memiliki mushhaf (khusus yang ditulisnya pada masa permulaan pengangkatan khalifah Abu Bakar dimana ia telah bertekad menulisnya dengan tidak akan keluar-keluar rumah kecuali untuk melakukan shalat sampai ia selesai menulisnya. Diriwayatkan oleh as-Suyuthy dari Muhammad ibnu Sirin dari ‘Ikrimah bahwasanya ia berkata: “Pada saat pengangkatan Abu Bakar, Ali tetap berada di rumahnya. Kemudian dikatakan kepada Abu Bakar: Ali tidak menyenangi baiatmu….” Selanjutnya Abu Bakar mengirim surat kepada Ali.
Dan ia mengatakan: “Apakah anda benci dengan pengangkatanku?”. Ali menjawab: “Aku melihat kitab Allah ada yang diselipi, jiwanya membisikkan padaku agar aku tidak memakai selendang atau berpakaian kecuali kalau aku melakukan shalat sampai aku membukukannya”. Abu Bakar mengatakan kepadanya: “Benar yang anda lihat itu”. Pada kenyataannya Ali memiliki satu mushhaf, tetapi sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Sirrin di dalamnya masih terdapat nasikh dan mansukh tidak sebagaimana mushhaf Abu Bakar.
Sumber http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/3/1/pustaka-57.html
Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Utsman
Posted December 12, 2008 Comments(0)
Semakin meluasnya daerah kekuasaan islam pada masa Utsman membuat perbedaan yang cukup mendasar dibandingkan dengan pada masa Abu Bakar
Latar belakang pengumpulan Al-Qur’an di masa Utsman r.a. adalah karena beberapa faktor lain yang berbeda dengan faktor yang ada pada masa Abu Bakar. Daerah kekuasaan Islam pada masa Utsman telah meluas, orang-orang Islam telah terpencar di berbagai daerah dan kota. Di setiap daerah telah populer bacaan sahabat yang mengajar mereka.
Penduduk Syam membaca Al-Qur’an mengikuti bacaan Ubay ibnu Ka’ab, penduduk Kufah mengikuti bacaan Abdullah Ibnu Mas’ud, dan sebagian yang lain mengikuti bacaan Abu Musa al-Asy’ari. Diantara mereka terdapat perbedaan tentang bunyi huruf, dan bentuk bacaan. Masalah ini membawa mereka kepada pintu pertikaian dan perpecahan sesamanya. Hampir satu sama lainnya saling kufur-mengkufurkan karena berbeda pendapat dalam bacaan.
Diriwayatkan dari Abi Qilabah bahwasanya ia berkata: “Pada masa pemerintahan Utsman guru-pengajar menyampaikan kepada anak didiknya, guru yang lain juga menyampaikan kepada anak didiknya. Dua kelompok murid tersebut bertemu dan bacaannya berbeda, akhirnya masalah tersebut sampai kepada guru/pengajar sehingga satu sama lain saling mengkufurkan. Berita tersebut sampai kepada Utsman. Utsman berpidato dan seraya mengatakan: “Kalian yang ada di hadapanku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku pasti lebih-lebih lagi perbedaannya”.
Karena latar belakang dari kejadian tersebut Utsman dengan kehebatan pendapatnya dan kebenaran pandangannya ia berpendapat untuk melakukan tindakan prefentip menambal pakaian yang sobek sebelum sobeknya meluas dan mencegah penyakit sebelum sulit mendapat pengobatannya. Ia mengumpulkan sahabat-sababat yang terkemuka dan cerdik cendekiawan untuk bermusyawarah dalam menanggulangi fitnah (perpecahan) dan perselisihan.
Mereka semua sependapat agar Amirul Mu’minin menyalin dan memperbanyak mushhaf kemudian mengirimkannya ke segenap daerah dan kota dan selanjutnya menginstruksikan agar orang-orang membakar mushhaf yang lainnya sehingga tidak ada lagi jalan yang membawa kepada pertikaian dan perselisihan dalam hal bacaan Al-Qur’an.
Sahabat Utsman melaksanakan keputusan yang sungguh bijaksana tadi, ia menugaskan kepada empat orang sahabat pilihan, lagi pula hafalannya dapat diandalkan. Mereka tersebut adalab Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said Ibnu al-’Asb dan Abdurrahman Ibnu Hisyam. Mereka semua dari suku Quraisy golongan muhajirin kecuali Zaid Ibnu Tsabit, dimana ia adalah dari kaum Anshar. Pelaksanaan gagasan yang mulia ini adalah pada tahun kedua puluh empat hijrah.
Utsman mengatakan kepada mereka: “Bila anda sekalian ada perselisihan pendapat tentang bacaan, maka tulislah berdasarkan bahasa Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Quraisy”. Utsman meminta kepada Hafsah binti Umar agar ia sudi menyerahkan mushhaf yang ada padanya sebagai hasil dari jasa yang telah dikumpulkan Abu Bakar, untuk ditulis dan diperbanyak. Dan setelah selesai akan dikembalikan lagi, Hafsah mengabulkannya.
Motif Utsman mengumpulkan Al-Qur’an
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas Ibnu Malik bahwasanya ia berkata:
“Sesungguhnya Hudzaifah Ibnu al-Yaman datang kepada Utsman, ketika itu, penduduk Syam bersama-sama dengan penduduk Irak sedang berperang menaklukkan daerah Armenia dan Adzerbaijan. Tiba-tiba Hudzaifah merasa tercengang karena penyebabnya adalah faktor perbedaan dalam bacaan. Hudzaifah berkata kepada Utsman: “Ya Amirul Mu’minin perhatikanlah umat ini sebelum mereka terlibat dalam perselisihan dalam masalah Kitab sebagaimana perselisihan diantara kaum Yahudi dan Nasrani”.
Selanjutnya Utsman mengirim surat kepada Hafsah yang isinya:
“Kirimlah kepada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur’an kami akan menyalinnya dalam bentuk mushhaf dan setelah selesai akan kami kembalikan lagi kepada anda”. Kemudian Hafsah mengirimkannya kepada Utsman. Utsman memerintahkan kepada Zaid ibnu Tsabit, Abdullah ibnu Zubair, Said ibnu al-’Ash dan Abdurrahman ibnu al-Harits ibnu Hisyam lalu mereka menyalinnya dalam mushhaf.
Utsman berpesan kepada ketiga kaum Quraisy: “Bila anda bertiga dan Zaid ibnu Tsabit berbeda pendapat tentang hal Al-Qur’an maka tulislah dengan ucapan/lisan Quraisy karena Al-Qur’an diturunkan dengan lisan Quraisy”.
Setelah mereka selesai menyalin ke dalam beberapa mushhaf, Utsman mengembalikan lembaran/mushhaf asli kepada Hafsah. Selanjutnya ia menyebarkan mushhaf yang baru tersebut ke seluruh daerah dan ia memerintahkan agar semua bentuk lembaran/mushhaf yang lain dibakar.(HR. al-Bukhari).
Perbedaan antara Mushhaf Abu Bakar dan Mushhaf Utsman
Perbedaan antara pengumpulan (mushhaf) Abu Bakar dan Utsman sebagaimana kami kemukakan di atas dapat kami ketahui dan kami tandai dari masing-masingnya.
Pengumpulan mushhaf pada masa Abu Bakar adalah bentuk pemindahan dan penulisan Al-Qur’an ke dalam satu mushhaf yang ayat-ayatnya sudah tersusun, berasal dari tulisan yang terkumpul pada kepingan-kepingan batu, pelepah kurma dan kulit-kulit binatang. Adapun latar belakangnya karena banyaknya huffazh yang gugur. sedangkan pengumpulan mushhaf pada masa Utsman adalah menyalin kembali yang telah tersusun pada masa Abu Bakar, dengan tujuan untuk dikirimkan ke seluruh negara Islam. Latar belakangnya adalah disebabkan karena adanya perbedaan dalam hal membaca Al-Qur’an. Wallâhu a’lam wa shallallâhu ‘alâ sayyidinâ Muhammad wa âlihî washahbihî wa sallam.
Sumber http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/3/1/pustaka-59.html
Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Nabi
Posted December 12, 2008 Comments(0)
Masa pengumpulan Al-Qur’an dengan menggunakan dua kategori, yaitu: (1) pengumpulan dalam dada, dan (2) dalam dokumen/catatan
Pengumpulan Al-Qur’anul Karim terbagi dalam dua periode:
(1) Periode Nabi SAW.
(2) Periode Khulafaur Rasyidin.
Masing-masing periode tersebut mempunyai beberapa ciri dan keistimewaan.
Istilah pengumpulan kadang-kadang dimaksudkan dengan penghafalan dalam hati, dan kadang-kadang pula dimaksudkan dengan penulisan dan pencatatan dalam lembaran-lembaran.
Pengumpulan Al-Qur’an di masa Nabi ada dua kategori:
(1) Pengumpulan dalam dada berupa penghafalan dan penghayatan/pengekspresian, dan
(2) Pengumpulan dalam dokumen atau catatan berupa penulisan pada kitab maupun berupa ukiran.
Kami akan menjelaskan keduanya secara terurai dan mendetail agar nampak bagi kita suatu perhatian yang mendalam terhadap Al-Qur’an dan penulisannya serta pembukuannya. Langkah-langkah semacam ini tidak terjadi pada kitab-kitab samawy lainnya sebagaimana halnya perhatian terhadap Al-Qur’an, sebagai kitab yang maha agung dan mu’jizat Muhammad yang abadi.
Pengumpulan Al-Qur’an dalam dada.
Al-Qur’anul Karim turun kepada Nabi yang ummy (tidak bisa baca-tulis). Karena itu perhatian Nabi hanyalah dituangkan untuk sekedar menghafal dan menghayatinya, agar ia dapat menguasai Al-Qur’an persis sebagaimana halnya Al-Qur’an yang diturunkan. Setelah itu ia membacakannya kepada orang-orang dengan begitu terang agar merekapun dapat menghafal dan memantapkannya. Yang jelas adalah bahwa Nabi seorang yang ummy dan diutus Allah di kalangan orang-orang yang ummy pula, Allah berfirman:


Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dengan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. (Al-Jumu’ah: 2)
Biasanya orang-orang yang ummy itu hanya mengandalkan kekuatan hafalan dan ingatannya, karena mereka tidak bisa membaca dan menulis. Memang bangsa Arab pada masa turunnya Al-Qur’an, mereka berada dalam budaya Arab yang begitu tinggi, ingatan mereka sangat kuat dan hafalannya cepat serta daya fikirnya begitu terbuka.
Orang-orang Arab banyak yang hafal beratus-ratus ribu syair dan mengetahui silsilah serta nasab keturunannya. Mereka dapat mengungkapkannya di luar kepada, dan mengetahui sejarahnya. Jarang sekali diantara mereka yang tidak bisa mengungkapkan silsilah dan nasab tersebut atau tidak hafal Al-Muallaqatul Asyar yang begitu banyak syairnya lagi pula sulit dalam menghafalnya.
Begitu Al-Qur’an datang kepada mereka dengan jelas, tegas ketentuannya dan kekuasaannya yang luhur, mereka merasa kagum, akal fikiran mereka tertimpa dengan Al-Qur’an, sehingga perhatiannya dicurahkan kepada Al-Qur’an. Mereka menghafalnya ayat demi ayat dan surat demi surat. Mereka tinggalkan syair-syair karena merasa memperoleh ruh/jiwa dari Al-Qur’an.
Pegumpulan dalam bentuk tulisan.
Keistimewaan yang kedua dari Al-Qur’anul Karim ialah pengumpulan dan penulisannya dalam lembaran. Rasulullah SAW mempunyai beberapa orang sekretaris wahyu. Setiap turun ayat Al-Qur’an beliau memerintahkan kepada mereka menulisnya, untuk memperkuat catatan dan dokumentasi dalam kehati-hatian beliau terhadap kitab Allah ‘Azza Wa Jalla, sehingga penulisan tesebut dapat melahirkan hafalan dan memperkuat ingatan.
Penulis-penulis tersebut adalah sahabat pilihan yang dipilih oleh Rasul dari kalangan orang yang terbaik dan indah tulisannya agar mereka dapat mengemban tugas yang mulia ini. Diantara mereka adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab; Muadz bin Jabal, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Khulafaur Rasyidin dan Sahabat-sahabat lain.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas r.a. bahwasanya ia berkata: “Al-Qur’an dikumpulkan pada masa Rasul SAW oleh 4 (empat) orang yang kesemuanya dari kaum Anshar; Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid. Anas ditanya: “Siapa ayah Zaid?” Ia menjawab: “Salah seorang pamanku”.
Sumber http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/3/1/pustaka-62.html
Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar
Posted December 12, 2008 Comments(0)
Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah setelah beliau selesai menyampaikan risalah dan amanah, menasehati ummat serta memberi petunjuk. pada agama yang lurus. Setelah beliau wafat kekuasaan dipegang oleh Abu Bakar Siddik ra
Pada masa pemerintahannya Abu Bakar banyak menghadapi malapetaka, berbagai kesulitan dan problem yang rumit, diantaranya memerangi orang-orang yang murtad (keluar dari agama Islam) yang ada di kalangan orang Islam, memerangi pengikut Musailamah al-Kadzdzab.
Peperangan Yamamah adalah suatu peperangan yang amat dahsyat. Banyak kalangan sahabat yang hafal Al-Qur’an dan ahli bacanya mati syahid yang jumlahnya lebih dari 70 orang huffazh ternama. Oleh karenanya kaum muslimin menjadi bingung dan khawatir. Umar sendiri merasa prihatin lalu beliau menemui Abu Bakar yang sedang dalam keadaan sedih dan sakit. Umar mengajukan usul (bermusyawarah dengannya) supaya mengumpulkan Al-Qur’an karena khawatir lenyap dengan banyaknya khufazh yang gugur, Abu Bakar pertama kali merasa ragu.
Setelah dijelaskan oleh Umar tentang nilai-nilai positipnya ia memandang baik untuk menerima usul dari Umar. Dan Allah melapangkan dada Abu Bakar untuk melaksanakan tugas yang mulia tersebut, ia mengutus Zaid bin Tsabit dan mengajukan persoalannya, serta menyuruhnya agar segera menangani dan mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushhaf. Mula pertama Zaid pun merasa ragu, kemudian iapun dilapangkan Allah dadanya sebagaimana halnya Allah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar.
Al-Bukhari telah meriwayatkan dalam shahihnya tentang kisah pengumpulan ini. Karena pentingnya maka di sini kami menukilnya sebagai berikut:
“Dari Zaid bin Tsabit r.a. bahwa ia berkata: “Abu Bakar mengirimkan berita kepadaku tentang korban pertempuran Yamamah, setelah orang yang hafal Al-Qur’an sejumlah 70 orang gugur. Kala itu Umar berada di samping Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar mengatakan “Umar telah datang kepadaku dan ia mengatakan: “Sesungguhnya pertumpahan darah pada pertempuran Yamamah banyak mengancam terhadap para penghafal Al-Qur’an. Aku khawatir kalau pembunuhan terhadap para penghafal Al-Qur’an terus-menerus terjadi di setiap pertempuran, akan mengakibatkan banyak Al-Qur’an yang hilang. Saya berpendapat agar anda memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan Al-Qur’an”. Aku (Abu Bakar) menjawab: “Bagaimana aku harus melakukan suatu perbuatan sedang Rasul SAW tidak pernah melakukannya?”. Umar r.a. menjawab: “Demi Allah perbuatan tersebut adalah baik”. Dan ia berulangkali mengucapkannya sehingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana ia melapangkan dada Umar. Dalam hal itu aku sependapat dengan pendapat Umar.
Zaid berkata: Abu Bakar mengatakan: “Anda adalah seorang pemuda yang tangkas, aku tidak meragukan kemampuan anda. Anda adalah penulis wahyu dari Rasulullah SAW. Oleh karena itu telitilah Al-Our’an dan kumpulkanlah….!” Zaid menjawab: “Demi Allah andaikata aku dibebani tugas untuk memindahkan gunung tidaklah akan berat bagiku jika dibandingkan dengan tugas yang dibebankan kepadaku ini”.
Saya mengatakan: “Bagaimana anda berdua akan melakukan pekerjaan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasululah SAW?”. Abu Bakar menjawab: “Demi Allah hal ini adalah baik”, dan ia mengulanginya berulangkali sampai aku dilapangkan dada oleh Allah SWT sebagaimana ia telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar.
Selanjutnya aku meneliti dan mengumpulkan Al-Qur’an dari kepingan batu, pelepah kurma dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al-Qur’an, sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surat At-Taubah dari Abu Khuzaimah Al-Anshary yang tidak terdapat pada lainnya (yaitu):

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat baginya apa yang kamu rasakan, ia sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan) maka katakanlah: Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung. (At-Taubah: 128-129).
Lembaran-lembaran tersebut disimpan pada Abu Bakar sampai ia wafat Kemudian (diserahkan) kepada Umar sampai wafat dan kemudian disimpan di rumah Hafsah binti Umar
Riwayat ini menyatakan tentang sebab pengumpulan Al-Qur’an.
Sumber http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/3/1/pustaka-65.html